Sore itu, matahari tidak tampak. Awan
kelabu masih menyelimuti langit Jatinangor, dengan basah sisa hujan yang
menyeruakkan bau tanah. Ringkikan kuda sesekali terdengar, beradu dengan deru
mesin motor yang lalu-lalang. Sebuah istal kuda berdiri di sudut pekarangan
rumah itu, rumah sederhana yang masih mempertahankan bentuk bangunan tua yang
bersahaja. Kolam ikan dengan air mancur disulap menjadi rumah berbagai kembang
pot di sisi taman. Sejuk dan tenang,
itulah kesan ketika menapakkan kaki di sebuah rumah di bilangan Sayang,
Jatinangor, yang digunakan sebagai ‘kandang’ berkesenian bagi warga Jatinangor
khususnya, dan Sumedang pada umumnya. Sebuah papan putih terpampang di bagian
depan rumah, bertuliskan “Sanggar Motekar”.
“Silahkan masuk” ujar ibu paruh baya
dengan stelan daster dan rambut pendek yang sudah memutih. Setelah bertanya
pada seorang pemuda yang menjaga warung di halaman sanggar, kami dipertemukan
dengan ibu pemilik rumah dan sanggar tersebut. Ruang tamunya sederhana dan
temaram. Foto-foto keluarga dipajang di dinding, yang membuat kami langsung
tahu bahwa ibu tersebut memiliki dua anak perempuan dan satu anak laki-laki.
“Bapak sudah nggak ada, ibu nggak bisa bicara panjang lebar tentang
sanggar. Takutnya salah,” ujarnya seraya tersenyum.
Adalah alm. Supriatna, sang bapak
pemilik Sanggar Motekar, yang juga merupakan mantan kepala sekolah SD
Jatinangor. Ia mulai berkesenian sejak tahun 1980, bermula dari membina
anak-anak untuk mempersiapkan penampilan di hari-hari besar, seperti pada 17
Agustusan, ia mempersiapkan acara dan perlombaan. Ia pada awalnya adalah guru
olahraga, namun kecintaannya pada seni membuatnya tetap terus menggiati beragam
jenis kesenian tradisional, khusunya kesenian-kesenian Sunda. Sanggar yang
didirikannya di tahun 2002 ini diniatkan sebagai sebuah rumah penampung
kegiatan-kegiatan seni tradisional Sunda di kalangan masyarakat Jatinangor dan
Sumedang, mulai dari karawitan, kuda renggong, tari-tarian, pencak silat,
sastra, teater, hingga pendokumentasian budaya Sunda. Ia juga pernah mecipta
lagu-lagu yang sudah dialbumkan, kebanyakan isinya bertemakan Jatinangor.
Sanggar ini memiliki jadwal
berkesenian setiap harinya. Kebanyakan peserta kegiatan adalah anak-anak SD dan
SMP di Jatinangor. Masing-masing cabang seni ‘dipegang kendali’ olehnya.
Kecuali kuda renggong, Aki Ali adalah ahilnya. Ia yang melatih dua ekor kuda
miliknya untuk menjadi Kuda Renggong yang baik. Supriatna sangat memahami seluk
beluk kesenian Sunda, sehingga ia yang mengonsep dan mengarahkan setiap
kegiatan seni di sanggar ini. Selain dari kegiatan-kegiatan seni tersebut,
sanggar ini juga fokus terhadap kegiatan pendokumentasian artefak-artefak seni
Sunda di Jatinangor. Ada pula beberapa mahasiswa yang kerap datang dan membantu
dokumentasi dan juga riset fakta dan data mengenai kesenian tradisional
Jatinangor yang hampir punah.
![]() |
Aki Ali dan salah satu kudanya |
Di samping rumah, terdapat sebuah
panggung kecil yang dibangun dengan batu bata dan semen tanpa dilapis cat.
Panggung tersebut berundak, tersusun dari bata dan dasarnya terbuat dari
plesteran semen. Tempat ini adalah panggung teater mereka, terutama untuk
perayaan Bulan Tok. Bulan Tok adalah sebuah pagelaran seni untuk merayakan
purnama bulan. Setiap tanggal 14 kalender Islam, sanggar membuat sebuah
pagelaran seni yang dilakoni oleh anak-anak yang mengikuti kegiatan sanggar
secara rutin. Menurut ibu, perhitungan menggunakan kalender islam karena bulan
purnama akan pas jatuh di tanggal 14, sedangkan menurut perhitungan masehi
tidak seperti itu.
Bulan Tok berisikan pementasan drama
anak, seperti Si Kabayan, tari-tarian, gamelan, dan semua kegiatan seni yang
dimiliki sanggar. Setiap pagelaran seantiasa ramai dikunjungi masyarakat, tidak
pernah sepi. Masyarakat sekitar selalu haus akan hiburan. Pernah kala itu,
perayaan Bulan Tok dikunjungi oleh turis asing. Perayaan ini merupakan salah
satu daya tarik wisata yang dimiliki Sanggar Motekar, dan juga Jatinangor.
Pemegang kesenian kuda renggong
adalah Aki Ali. Ia merupakan pewaris ilmu kuda renggong satu-satunya di
Sumedang, bahkan Indonesia. Ia adalah generasi terakhir dari para pelakon
renggong. Aki Ali, yang sudah akrab dengan kuda sejak anak-anak, sangat
mencintai kuda, bahkan melebihi dirinya. “Aki mah gelisah kalau kuda nggak ada
pakan, kalau aki gak ada nasi gak masalah,”ujarnya. Pria kelahiran 1942 itu memiliki
kemampuan membaca karakter kuda lewat ilmu tersendiri. Menurutnya, bila ingin mendalami
renggong, jangan cepat puas bila sudah membuat kuda sedikit berjingkrak. Kuda
harus bisa menari, mengikuti ketukan irama musik. Kuda juga memiliki karakter,
kita harus mengerti, jangan sampai salah paham,”tuturnya, sesekali diiringi
tawa.
Sekian banyak kegiatan yang
diperjuangkan Motekar demi kelestarian seni sunda tradisional, hampir seluruh
dana dan logistik bersumber dari pribadi. “Bapak paling tidak mau kerjasama
dengan pemerintah. Ribet, katanya. Pernah dulu ada tawaran dari Disbudpar
mengajak sanggar bergabung dengan sebuah ‘kampung seni’, namun, salah satu
syaratnya adalah bagi hasil dari keuntungan penjualan. Komersil, lah, neng, bapak bilang lebih baik
begini saja, sanggar kita tetap berdiri sendiri. ” tutur wanita yang kerap
disapa ibu Arum ini. Diakuinya, Disbudpar juga kerap meminta tolong dan
meminta bantuan sanggar untuk hal-hal kegiatan seni, namun, tidak pernah ada
timbal balik dari pihak Disbudpar. Malah, mereka mengatakan bahwa Sanggar Motekar belum terdaftar. Maka dari
itu, Supriatna memilih untuk tetap mengelola sanggarnya secara mandiri. Seluruh
kegiatan seni di sanggar ini memang sama sekali tidak berorientasi keuntungan
materi. Anak-anak yang belajar menari, karawitan, dan yang lainnya juga sama
sekali tidak pernah dipungut bayaran. Semua digarapnya untuk menghindarkan seni
tradisional dari kepunahan.
Supriatna juga merupakan seorang yang
gemar dan giat menggeluti sastra sunda. Sudah beberapa karya penulisan yang ia
buat, di antaranya sudah dibukukan dan dijual kepada masyarakat. Ia biasa
menulis carpon atau cerpen untuk majalah-majalah sunda seperti Mangle dan
Cupumanik. Namun, ia tidak menerima royalti atau apapun dari pihak penerbit
yang sudah menjual buku-bukunya. Setelah diserahkan kepada penerbit, tidak
pernah ada kelanjutan kabar mengenai buku-bukunya.
“Setelah bapak nggak ada, sanggar
sepi, nggak hidup. Acara juga belum
sempat ada lagi. Kemarin baru 100 harinya bapak. Orang yang kesini juga masih
sebatas belasungkawa. Anak-anak yang latihan juga berkurang. Mereka dekatnya
sama bapak. Ibu cuma tahu urusan dapur, ngurusin
konsumsi kalau lagi ada acara. Masakin anak-anak, masakin ibu-ibu PKK, gitu aja. Semuanya kerasa beda, neng, kalau bapak nggak ada, ” ujar wanita kelahiran 15 Juni 1955
itu.
Cita-cita yang Tertunda
Ada salah satu pekerjaan yang belum
rampung dikerjakan oleh Supriatna. Ia berniat untuk menyusun sebuah
ensiklopedia mengenai seluk beluk Kabupaten Sumedang. Ensiklopedia tersebut
rencananya akan membahas tokoh-tokoh adat maupun tokoh-tokoh masyarakat di
Sumedang, juga mengenai sejarah Sumedang, termasuk di dalamnya adalah
kesenian-kesenian Sumedang. Namun, cita-cita mulia tersebut terpaksa ditunda
karena kepulanganya ke pangkuan Tuhan di bulan Juni 2012.
Belum ada rencana untuk melanjutkan
penyusunan ensiklopedia tersebut, mengingat belum ada penerus yang benar-benar
satu tujuan dan satu idealisme dengannya. Anak perempuan keduanya, menurut
Arum, adalah salah satu yang memiliki potensi untuk meneruskan penyusunan
ensiklopedi tersebut, namun, anak perempuannya tersebut tinggal di Jakarta
menjadi guru. Kesibukan ibu kota membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk
melakukan riset-riset dan pembukuan.
Supriatna juga bercita-cita, panggung
kecil di samping halaman rumahnya ingin dijadikan sebuah gedung pertunjukan
sederhana, yang dapat menampung dan memelihara segala bentuk kesenian
Jatinangor dan Sumedang. Mimpi dan ambisinya untuk terus melestarikan dan
mewariskan budaya sunda Jatinangor dan Sumedang akan senantiasa dikenang oleh
masyarakat lewat karya-karyanya.
Hey, tulisanmu keren! Salam buat keluarga sanggar jika kamu mampir ke sana lagi :)
ReplyDeleteHehehe trimakasih Pak Upil ;D, tp sayang, sanggarnya udah lama tutup :(
DeleteOh, sudah tutup ya. Tadinya mah mau nyari ke sana.... Tapi Aki Ali-nya masih ada?
ReplyDelete