dibuat untuk mengenang 40 hari wafatnya
Djoeningsih Abdoel Moeis.
Kota
Bandung memiliki sejarah besar terkait perjuangan dua ratus ribu-an warganya
dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI satu tahun pasca proklamasi. 70 tahun
lalu, kesepakatan tentara sekutu , Inggris dan Nederlands Indie Civil Administration (NICA) untuk menyerahkan
Bandung kepada Belanda dan mendudukinya sebagai markas strategis militer mereka
berujung pada aksi heroik pembumihangusan kota oleh seluruh warga.
Sejarah
yang kemudian dikenal sebagai Bandung Lautan Api ini masih terus diperingati
setiap tahunnya di Kota Bandung, termasuk malam hari Rabu dua hari lalu (23/3)
dimana pawai obor, aksi teatrikal hingga ‘nobar’ dipenuhi masyarakat meski
hujan mengguyur. Kemeriahan yang—seperti tahun-tahun sebelumnya—hanya kuintip
via linimasa atau portal berita daring, mengingat secara pribadi aku tak punya
ikatan emosi khusus terhadap peristiwa bersejarah tersebut atau minimal rasa
ketertarikan yang cukup untuk membuatku meleburkan diri ke dalam euforia perayaan
warga kota.
Bandung
Lautan Api di benakku hinggap sebagai penggalan cerita tentang rumah dan harta
yang hangus terbakar dan warga yang berbondong-bondong lari ke arah selatan,
tidak lebih dari itu. Dan mungkin selamanya akan tetap seperti itu kalau saja
aku tidak iseng membuka tumpukan map kuning dan buku gambar ukuran A3 yang tergeletak
di lantai kamar (alm) nenekku.
“Itu klipingan nenek,” ujar uwa[1] -ku
yang ketika itu tengah merapikan lemari berisi kertas-kertas dan
berkas-entah-apa di kamar tersebut.
Kubuka
lembar demi lembar tumpukan A3 tersebut dan kubaca sejumlah potongan berita
surat kabar yang ditempel di sana, kutelusuri isi tulisan dalam kertas-kertas
yang sebagian besar telah menguning. Isi kepalaku saat itu terbagi antara
berusaha mencerna berita yang terpampang dengan mengutuki diri sendiri, kenapa tidak kau habiskan waktu lebih banyak
dengan duduk dan berbincang bersama nenek ketika ia hidup. Penggalan percakapan dari film yang belum
lama kutonton terlintas dalam benak,
“It just means that after somebody dies you
can still keep learning about them, you know, their life. It can keep unfolding
itself to you…just as long as you keep pay attention to it” –Me and Earl and The Dying Girl
***
“Saya
ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat. Kalaupun tidak bisa memberi materi,
tenaga pun tak apalah, karena memang hanya itu yang saya miliki[2]” begitu petikan percakapan
salah satu majalah wanita 20 tahun silam dengan Djoeningsih Abdoel Moeis, nenek
11 cucu yang ketika itu berusia 70-an tahun. Nenekku. Nenek yang saat itu baru
ku ketahui ternyata menjadi salah satu pemeran dalam potongan skenario “warga
yang membakar rumahnya dan berlari ke arah selatan” dalam benakku.
Ternyata
tidak sesederahan itu kejadiannya. Warga bahu-membahu membuat benteng
pertahanan, berlari-lari di antara desing mortir, termasuk di dalamnya rasa
cemas,was-was,sekaligus keikhlasan yang saling bercampur menjelma semangat
juang, yang nampaknya tak kalah panas dari api yang mereka sulut sepanjang
jalan. Ketika itu usia nenek hanya lebih tua tiga tahun dariku saat ini.
![]() |
Foto keluarga Sastrawiria di bilangan Dago, Bandung, sekitar awal 1930-an. Djoeningsih berdiri di paling kiri. (dok.pribadi) |
Momen Bandung Lautan Api mungin
merupakan salah satu titik pengalaman paling berharga dan paling berkesan dalam
dirinya, momen ketika kariernya sebagai tenaga pengajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS—setingkat Sekolah Dasar
sekarang) kesastraan berlanjut ke ‘medan tempur’. Ketika di HIS, rekan seangkatannya
yang mayoritas pria banyak yang turun berperang. Djoen muda tidak diperkenankan
oleh orangtuanya untuk membantu. “Buat apa perempuan ikut berperang![3]” ujar
ayahnya saat itu.
Meski
tidak ikut angkat senjata, sedari belia nyatanya ia mampu menemukan cara untuk turut
membaktikan tenaga dan pikirannya melalui organisasi. Sejak usia 15 tahun ia
menjadi salah satu pengurus Indonesia Muda; organisasi lanjutan dari Sumpah
Pemuda. Pada 1940, ia mempimpin Indonesia Muda cabang Bandung—usianya menjelang
19 kala itu. Sempat berurusan dengan Politik
Inlichtingen Dienst (PID) tak membuat dirinya enggan berorganisasi kembali.
Ia kelak mengetuai Yoshi Seinendan Priangan (yang kemudian membubarkan diri dan
berubah menjadi Barisan Puteri Indonesia).
Kegemarannya
dalam menulis membuat dirinya diminta untuk bergabung menjadi wartawati oleh
sejumlah rekan. Ia kemudian tercatat sebagai salah satu dari sedikit wartawati
surat kabar regional Bandung, Tjahaja
terbitan Djawa Shinboen Kai yang diawasi oleh Sedenbu. Kala itu Oto Iskandar
Dinata ditunjuk sebagai pemimpin bersama R.Branata dan Mohammad Kurdi. Liputan
pertama Djoen berlangsung sekembalinya ia dari kongres Dewan Pimpinan Pemuda di
Yogyakarta (hasilnya memutuskan tiap pemuda perwakilan daerah agar kembali ke
daerahnya untuk mempertahankan pos dan mendirikan organisasi Pemuda Puteri
Indonesia (PPI) setempat).
Saat
itu, para pemuda dan pemudi Bandung telah membentuk “benteng-benteng”
pertahanan dan sejumlah barikade di seluruh kota, terutama pada garis demarkasi
yang melintas dari arah barat ke timur, membagi Bandung menjadi dua daerah ;
Bandung Utara yang diduduki serdadu Inggris, Gurka,dan Belanda serta Bandung
Selatan yang masih dikuasai rakyat.
Pertempuran
yang semakin ganas membuat instruksi dari Jakarta turun untuk meminta pasukan
Bandung mundur 11 kilometer dari kota. Tak lama, surat kabar Tjahaja pun harus pindah ke Ciparay.
Tulisan pertama yang dibuat adalah
tentang pertempuran yang terjadi di sepanjang jalan Braga. Kasus Bandung Lautan Api menarik hati saya
untuk menuangkannya ke dalam tulisan, antara lain karena pengungsi yang
melahirkan di jalan, warga yang sakit dan udzur terpaksa digendong dan berbagai
hal lain yang benar-benar membuat kita hanyut dalam suasana[4].
Di
Ciparay didirikan tempat pengungsian bagi para korban sepanjang Bojong Malaka
dan sekitarnya. Di samping meliput, Djoen masih harus membuka dapur umum PPI
bekerjasama dengan Laskar Wanita Indonesia (Laswi) serta mengurus Koperasi
Priangan pimpinan Niti Sumantri dan Arbin Dungga.
“Bahkan
seringkali kami harus mengambil mayat-mayat dari lokasi pertempuran. Ada yang
lebih penting untuk dilakukan ketimbang menghiraukan rasa takut"[5].
Masa
transisi Tjahaja di Ciparay bukan
berarti dilewati tanpa hambatan. Kala itu para wartawan Tjahaja harus membuat berita di gubuk bambu. Mesin cetak mereka pun
berada di Cibantar karena sempat dibawa ‘mengungsi’ ke penjara Sukamiskin. Di
situlah kemudian hati Djoen tertambat pada sesosok pemuda nekat yang berupaya
memboyong mesin tik yang tertinggal di lokasi pertempuran ke Ciparay. Pemuda
yang kelak menjadi kakekku.
Setelah
Ciparay dibombardir bom mortir yang sekaligus juga menewaskan rekan
seperjuangan Djoen, Tjahaja—begitu pula
markas PPI dan dan Koperasi Priangan—berpindah ke Tasikmalaya. Pasca berpindah,
Tjahaja berubah nama menjadi Soeara Merdeka (setelah di Ciparay
berganti menjadi Perdjoangan Kita
namun tak berlangsung lama). Ia beserta rekan-rekannya, Sarbini dan Artati
Sudirja melanjutkan aktivitas peliputannya di sana sembari mengirim berita
untuk radio-radio perjuangan.
Dalam suasana
peperangan dan pengungsian , para wartawan dan wartawati berjuang dengan lebih
mengandalkan kekuatan kalimat. Untuk itu, segala resiko pun mesti siap
ditangung, seperti berlarian di tengah desing peluru untuk mencari bahan berita
bahkan sampai tertidur di atas meja percetakan. Di saat-saat seperti itu, yang
dalam benak hanyalah mepertahankan kemerdekaan atau mati syahid. [6]
***
Meski
tinggal satu atap sejak kecil dengan nenek, namun memoriku terhadapnya terbatas
pada masa-masa ketika ia duduk menghadap meskin tik tiap malam, menuliskan apa
saja yang mengganggu pikirannya. Ketika itu aku tak tahu apa yang ia perjuangan
dan curahkan ke dalam kertas yang belakangan kuketahui, kebanyakan mengenai
wanita dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai
wanita, ia tidak menanggalkan kewanitaannya untuk dapat aktif berkontribusi di
kehidupan bermasyarakat, justru memilih untuk mengajak perempuan lain agar
dapat berjuang memberdayakan diri di tengah pergerakan zaman, menentukan
keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri sehingga turut menentukan alur
sejarah. Menemukan dirinya di tengah dominasi.
Pasca
karier kewartawanannya, Djoen memilih untuk terus mengurus koperasi dengan menjadi
redaktur majalah Front Koperasi,
mendorong wanita untuk aktif di berkecimpung di koperasi-koperasi desa.
Kegiatan
setelah itu yang kutahu hanya ketika ia kemudian mendirikan organisasi wanita
eks-pejuang mantan anggota Laswi, Perindo Putri, dan laskar wanita lainnya,
yakni Wirawati Catur Panca, serta panti asuhan bagi anak-anak terlantar pada
masa Revolusi Nasional Indonesia, Tambatan Hati. Hari-hari beliau adalah hilir
mudik menghadiri rapat dari kota ke kota, seolah tak ingin membuang barang satu
jam nafasnya dengan sia-sia bahkan hingga usianya meginjak kepala sembilan.
Di mataku, nenek yang perawakannya cenderung mungil dan lincah nampak seperti kijang betina dengan luapan energi melimpah.
Di mataku, nenek yang perawakannya cenderung mungil dan lincah nampak seperti kijang betina dengan luapan energi melimpah.
![]() |
Musyawarah Nasional keluarga besar Wirawati Catur Panca di Jakarta, 14-16 November 2005. Djoeningsih (tengah baju merah) kala itu berusia 84 tahun. (dok.pribadi) |
***
Kini,
40 hari berlalu sejak beliau menghembuskan nafas terakhirnya, dan aku mungkin
tak akan melihat sejarah Bandung Lautan Api dengan cara yang sama lagi,
mengingat pernah ada sosok-sosok yang begitu habis-habisan mempertahankan
kedaulatan kota-nya, dan hal ini mengusikku yang tengah duduk mengetik di
kursi nyaman dengan secangkir kopi, tidak berbuat apa-apa selain berupaya
menyelesaikan kuliah.
Ungkapan
yang dipopulerkan Pidi Baiq, “Dan Bandung
bagiku bukan Cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan
perasaan, yang bersamaku ketika sunyi,” mungkin mulai masuk akal bagiku yang
belakangan mulai merasa jengah dengan kota yang semakin riuh ini. Hatiku yang
selalu berkeinginan meninggalkan Bandung suatu saat nanti mungkin kini perlahan
mulai menemukan alasan untuk tinggal. Entahlah, mungkin untuk “balas budi”
setelah kupakai hidup selama 23 tahun. Aku merasa telah membuat jasa para
pejuang seolah taken for granted dengan
sekedar hidup tenang di atas tanah yang pernah diperjuangkan sedemikian heroik,
tak ubahnya lintah gemuk yang tengah kenyang untuk kemudian lepas, berdiam diri
dan pergi mencari inang baru.
Setidaknya,
kini aku tahu kalau ia telah meninggal dalam damai setelah menjalani hidup
dengan puas.
…sambil meminum siropnya, ibu yang lahir pada 23 September 1921
dan sekarang tinggal di Bandung itu mengatakan bahwa hidupnya kini sangat bahagia. [7]
![]() |
Djoeningsih berpose di sela perjalanan laut dari Batam menuju Singapura. (dok.pribadi) |
[1] Uwa adalah sebutan dalam bahasa Sunda untuk kakak dari orang tua
kita.
[2] Kartini nomor 577, 5-14 April 1996.,55
[3] “Menghabiskan Masa Muda Demi
Merah Putih,” nama surat kabar tak tercantum.
[4] Wawancara dengan Pikiran Rakyat 23 November ‘95 : “Wanita
Kini Menjadi Komoditi dan Bisnis Pria”
[5] Kartini, Op.Cit.,56
[6] Pikiran Rakyat, Op.Cit.
[7] “Meliput Bandung Lautan Api
di antara Desing Peluru”, Buana Minggu 11
April 1982