Saturday 29 July 2017

Sederhana

Jadi gini ;


Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017.

Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bahwa tulisan-tulisan yang akan datang berikutnya tidak akan terlalu dibuat susah payah atau dibuat dari hasil berpikir panjang-panjang ;


Sederhana saja, karena hidup sudah terlalu rumit belakangan.



Cheerio! 

Friday 25 March 2016

70 Tahun Bandung Lautan Api, Sebuah Memoar Singkat

dibuat untuk mengenang 40 hari wafatnya Djoeningsih Abdoel Moeis.


Kota Bandung memiliki sejarah besar terkait perjuangan dua ratus ribu-an warganya dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI satu tahun pasca proklamasi. 70 tahun lalu, kesepakatan tentara sekutu , Inggris dan Nederlands Indie Civil Administration (NICA) untuk menyerahkan Bandung kepada Belanda dan mendudukinya sebagai markas strategis militer mereka berujung pada aksi heroik pembumihangusan kota oleh seluruh warga.

Sejarah yang kemudian dikenal sebagai Bandung Lautan Api ini masih terus diperingati setiap tahunnya di Kota Bandung, termasuk malam hari Rabu dua hari lalu (23/3) dimana pawai obor, aksi teatrikal hingga ‘nobar’ dipenuhi masyarakat meski hujan mengguyur. Kemeriahan yang—seperti tahun-tahun sebelumnya—hanya kuintip via linimasa atau portal berita daring, mengingat secara pribadi aku tak punya ikatan emosi khusus terhadap peristiwa bersejarah tersebut atau minimal rasa ketertarikan yang cukup untuk membuatku meleburkan diri ke dalam euforia perayaan warga kota.

Bandung Lautan Api di benakku hinggap sebagai penggalan cerita tentang rumah dan harta yang hangus terbakar dan warga yang berbondong-bondong lari ke arah selatan, tidak lebih dari itu. Dan mungkin selamanya akan tetap seperti itu kalau saja aku tidak iseng membuka tumpukan map kuning dan buku gambar ukuran A3 yang tergeletak di lantai kamar (alm) nenekku.

 “Itu klipingan nenek,” ujar uwa[1]-ku yang ketika itu tengah merapikan lemari berisi kertas-kertas dan berkas-entah-apa di kamar tersebut.

Kubuka lembar demi lembar tumpukan A3 tersebut dan kubaca sejumlah potongan berita surat kabar yang ditempel di sana, kutelusuri isi tulisan dalam kertas-kertas yang sebagian besar telah menguning. Isi kepalaku saat itu terbagi antara berusaha mencerna berita yang terpampang dengan mengutuki diri sendiri, kenapa tidak kau habiskan waktu lebih banyak dengan duduk dan berbincang bersama nenek ketika ia hidup.  Penggalan percakapan dari film yang belum lama kutonton terlintas dalam benak,

 “It just means that after somebody dies you can still keep learning about them, you know, their life. It can keep unfolding itself to you…just as long as you keep pay attention to it”Me and Earl and The Dying Girl
***
“Saya ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat. Kalaupun tidak bisa memberi materi, tenaga pun tak apalah, karena memang hanya itu yang saya miliki[2]” begitu petikan percakapan salah satu majalah wanita 20 tahun silam dengan Djoeningsih Abdoel Moeis, nenek 11 cucu yang ketika itu berusia 70-an tahun. Nenekku. Nenek yang saat itu baru ku ketahui ternyata menjadi salah satu pemeran dalam potongan skenario “warga yang membakar rumahnya dan berlari ke arah selatan” dalam benakku. 

Ternyata tidak sesederahan itu kejadiannya. Warga bahu-membahu membuat benteng pertahanan, berlari-lari di antara desing mortir, termasuk di dalamnya rasa cemas,was-was,sekaligus keikhlasan yang saling bercampur menjelma semangat juang, yang nampaknya tak kalah panas dari api yang mereka sulut sepanjang jalan. Ketika itu usia nenek hanya lebih tua tiga tahun dariku saat ini.  

Foto keluarga Sastrawiria di bilangan Dago, Bandung, sekitar awal 1930-an. Djoeningsih berdiri di paling kiri. (dok.pribadi)

Momen Bandung Lautan Api mungin merupakan salah satu titik pengalaman paling berharga dan paling berkesan dalam dirinya, momen ketika kariernya sebagai tenaga pengajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS—setingkat Sekolah Dasar sekarang) kesastraan berlanjut ke ‘medan tempur’. Ketika di HIS, rekan seangkatannya yang mayoritas pria banyak yang turun berperang. Djoen muda tidak diperkenankan oleh orangtuanya untuk membantu. “Buat apa perempuan ikut berperang![3]” ujar ayahnya saat itu.

Meski tidak ikut angkat senjata, sedari belia nyatanya ia mampu menemukan cara untuk turut membaktikan tenaga dan pikirannya melalui organisasi. Sejak usia 15 tahun ia menjadi salah satu pengurus Indonesia Muda; organisasi lanjutan dari Sumpah Pemuda. Pada 1940, ia mempimpin Indonesia Muda cabang Bandung—usianya menjelang 19 kala itu. Sempat berurusan dengan Politik Inlichtingen Dienst (PID) tak membuat dirinya enggan berorganisasi kembali. Ia kelak mengetuai Yoshi Seinendan Priangan (yang kemudian membubarkan diri dan berubah menjadi Barisan Puteri Indonesia).

Kegemarannya dalam menulis membuat dirinya diminta untuk bergabung menjadi wartawati oleh sejumlah rekan. Ia kemudian tercatat sebagai salah satu dari sedikit wartawati surat kabar regional Bandung, Tjahaja terbitan Djawa Shinboen Kai yang diawasi oleh Sedenbu. Kala itu Oto Iskandar Dinata ditunjuk sebagai pemimpin bersama R.Branata dan Mohammad Kurdi. Liputan pertama Djoen berlangsung sekembalinya ia dari kongres Dewan Pimpinan Pemuda di Yogyakarta (hasilnya memutuskan tiap pemuda perwakilan daerah agar kembali ke daerahnya untuk mempertahankan pos dan mendirikan organisasi Pemuda Puteri Indonesia (PPI) setempat).

Djoeningsih (duduk paling kiri) bersama para anggota Indonesia Muda tahun 1939 yang diketuai Muhadi (duduk di tengah depan). (Sumber:Ibnu Ridwan, Ma'mun.1998. Profil Pejuang Angkatan '45 : Pengabdian dan Nilai-nilai Luhur '45. Jakarta : Center For Research,Development and Studies). 

Saat itu, para pemuda dan pemudi Bandung telah membentuk “benteng-benteng” pertahanan dan sejumlah barikade di seluruh kota, terutama pada garis demarkasi yang melintas dari arah barat ke timur, membagi Bandung menjadi dua daerah ; Bandung Utara yang diduduki serdadu Inggris, Gurka,dan Belanda serta Bandung Selatan yang masih dikuasai rakyat.

Pertempuran yang semakin ganas membuat instruksi dari Jakarta turun untuk meminta pasukan Bandung mundur 11 kilometer dari kota. Tak lama, surat kabar Tjahaja pun harus pindah ke Ciparay.

Tulisan pertama yang dibuat adalah tentang pertempuran yang terjadi di sepanjang jalan Braga.  Kasus Bandung Lautan Api menarik hati saya untuk menuangkannya ke dalam tulisan, antara lain karena pengungsi yang melahirkan di jalan, warga yang sakit dan udzur terpaksa digendong dan berbagai hal lain yang benar-benar membuat kita hanyut dalam suasana[4].

Di Ciparay didirikan tempat pengungsian bagi para korban sepanjang Bojong Malaka dan sekitarnya. Di samping meliput, Djoen masih harus membuka dapur umum PPI bekerjasama dengan Laskar Wanita Indonesia (Laswi) serta mengurus Koperasi Priangan pimpinan Niti Sumantri dan Arbin Dungga.

“Bahkan seringkali kami harus mengambil mayat-mayat dari lokasi pertempuran. Ada yang lebih penting untuk dilakukan ketimbang menghiraukan rasa takut"[5]. 

Masa transisi Tjahaja di Ciparay bukan berarti dilewati tanpa hambatan. Kala itu  para wartawan Tjahaja harus membuat berita di gubuk bambu. Mesin cetak mereka pun berada di Cibantar karena sempat dibawa ‘mengungsi’ ke penjara Sukamiskin. Di situlah kemudian hati Djoen tertambat pada sesosok pemuda nekat yang berupaya memboyong mesin tik yang tertinggal di lokasi pertempuran ke Ciparay. Pemuda yang kelak menjadi kakekku.

Surat Kabar Tjahaja tertulis tanggal 24 Shichigatsu 2604 atau sama dengan 24 Juli 1944.  Tjahaja lahir dari peleburan sejumlah surat kabar yang ada di Bandung oleh pemerintah Jepang dengan tujuan pengawasan.

 (Sumber:  https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_surat_kabar_Indonesia#Lima_Periode_Surat_Kabar_Indonesia, diakses 25-3-2016). 

Setelah Ciparay dibombardir bom mortir yang sekaligus juga menewaskan rekan seperjuangan Djoen, Tjahaja—begitu pula markas PPI dan dan Koperasi Priangan—berpindah ke Tasikmalaya. Pasca berpindah, Tjahaja berubah nama menjadi Soeara Merdeka (setelah di Ciparay berganti menjadi Perdjoangan Kita namun tak berlangsung lama). Ia beserta rekan-rekannya, Sarbini dan Artati Sudirja melanjutkan aktivitas peliputannya di sana sembari mengirim berita untuk radio-radio perjuangan.
Dalam suasana peperangan dan pengungsian , para wartawan dan wartawati berjuang dengan lebih mengandalkan kekuatan kalimat. Untuk itu, segala resiko pun mesti siap ditangung, seperti berlarian di tengah desing peluru untuk mencari bahan berita bahkan sampai tertidur di atas meja percetakan. Di saat-saat seperti itu, yang dalam benak hanyalah mepertahankan kemerdekaan atau mati syahid. [6]
***
Meski tinggal satu atap sejak kecil dengan nenek, namun memoriku terhadapnya terbatas pada masa-masa ketika ia duduk menghadap meskin tik tiap malam, menuliskan apa saja yang mengganggu pikirannya. Ketika itu aku tak tahu apa yang ia perjuangan dan curahkan ke dalam kertas yang belakangan kuketahui, kebanyakan mengenai wanita dan pemberdayaan masyarakat.

Sebagai wanita, ia tidak menanggalkan kewanitaannya untuk dapat aktif berkontribusi di kehidupan bermasyarakat, justru memilih untuk mengajak perempuan lain agar dapat berjuang memberdayakan diri di tengah pergerakan zaman, menentukan keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri sehingga turut menentukan alur sejarah. Menemukan dirinya di tengah dominasi.  

Pasca karier kewartawanannya, Djoen memilih untuk terus mengurus koperasi dengan menjadi redaktur majalah Front Koperasi, mendorong wanita untuk aktif di berkecimpung di koperasi-koperasi desa.  

Kegiatan setelah itu yang kutahu hanya ketika ia kemudian mendirikan organisasi wanita eks-pejuang mantan anggota Laswi, Perindo Putri, dan laskar wanita lainnya, yakni Wirawati Catur Panca, serta panti asuhan bagi anak-anak terlantar pada masa Revolusi Nasional Indonesia, Tambatan Hati. Hari-hari beliau adalah hilir mudik menghadiri rapat dari kota ke kota, seolah tak ingin membuang barang satu jam nafasnya dengan sia-sia bahkan hingga usianya meginjak kepala sembilan.

Di mataku, nenek yang perawakannya cenderung mungil dan lincah nampak seperti kijang betina dengan luapan energi melimpah.


Musyawarah Nasional keluarga besar Wirawati Catur Panca di Jakarta, 14-16 November 2005. Djoeningsih (tengah baju merah) kala itu berusia 84 tahun. (dok.pribadi)

***
Kini, 40 hari berlalu sejak beliau menghembuskan nafas terakhirnya, dan aku mungkin tak akan melihat sejarah Bandung Lautan Api dengan cara yang sama lagi, mengingat pernah ada sosok-sosok yang begitu habis-habisan mempertahankan kedaulatan kota-nya, dan hal ini mengusikku yang tengah duduk mengetik di kursi nyaman dengan secangkir kopi, tidak berbuat apa-apa selain berupaya menyelesaikan kuliah.

Ungkapan yang dipopulerkan Pidi Baiq, “Dan Bandung bagiku bukan Cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi,” mungkin mulai masuk akal bagiku yang belakangan mulai merasa jengah dengan kota yang semakin riuh ini. Hatiku yang selalu berkeinginan meninggalkan Bandung suatu saat nanti mungkin kini perlahan mulai menemukan alasan untuk tinggal. Entahlah, mungkin untuk “balas budi” setelah kupakai hidup selama 23 tahun. Aku merasa telah membuat jasa para pejuang seolah taken for granted dengan sekedar hidup tenang di atas tanah yang pernah diperjuangkan sedemikian heroik, tak ubahnya lintah gemuk yang tengah kenyang untuk kemudian lepas, berdiam diri dan pergi mencari inang baru.

Setidaknya, kini aku tahu kalau ia telah meninggal dalam damai setelah menjalani hidup dengan puas.  

…sambil meminum siropnya, ibu yang lahir pada 23 September 1921 dan sekarang tinggal di Bandung itu mengatakan bahwa hidupnya kini sangat bahagia. [7]



Djoeningsih berpose di sela perjalanan laut dari Batam menuju Singapura. (dok.pribadi)




[1] Uwa adalah sebutan dalam bahasa Sunda untuk kakak dari orang tua kita.
[2] Kartini nomor 577, 5-14 April 1996.,55
[3] “Menghabiskan Masa Muda Demi Merah Putih,” nama surat kabar tak tercantum.
[4] Wawancara dengan Pikiran Rakyat 23 November ‘95 : “Wanita Kini Menjadi Komoditi dan Bisnis Pria”
[5] Kartini, Op.Cit.,56
[6] Pikiran Rakyat, Op.Cit.
[7] “Meliput Bandung Lautan Api di antara Desing Peluru”, Buana Minggu 11 April 1982



Friday 4 December 2015

Happily Sad

Fools rush in, so here I am
Very glad to be unhappy
I can't win, but here I am
More than glad to be unhappy


Glad To be Unhappy - Frank Sinatra



Kadang, yang kita butuhkan hanyalah  benar-benar menerima perasaan bahwa kita kerapkali tidak bahagia, wasted, gitu-gitu aja, tanpa perlu denial atau dibuat seolah-olah ketidakbahagiaan adalah blessing in disguise, padahal rasa sedih dan gak berguna mu masih tetap bercokol (bahkan berlipat ganda) di dalam hati.

Jadi, terima aja,lah. Sadness is a part of being human, anyway. Sampai akhirnya kita mendapati diri menikmati kesedihan sebagai sesuatu yang wajar terjadi, harus dihadapi, dan, anehnya, indah dan menyenangkan

Woody Allen pernah bilang,  

To love is to suffer. To avoid suffering, one must not love. But, then one suffers from not loving. Therefore, to love is to suffer, not to love is to suffer, to suffer is to suffer. To be happy is to love, to be happy, then, is to suffer, but suffering makes one unhappy, therefore, to be unhappy one must love, or love to suffer, or suffer from too much happiness — I hope you're getting this down.

Selamat datang, Desember yang gitu-gitu aja.
 Glad you came earlier. 


Saturday 1 August 2015

Inversi

Ternyata hal-hal yang kita anggap lazim dan biasa bisa seketika berubah menjadi sesuatu yang baru dan menarik dalam hitungan detik. Kuncinya, cari sudut pandang lain yang kadang bisa benar-benar bertentangan dengan kebiasaan. 
 
Hal ini baru saja kualami beberapa hari lalu, di halaman belakang rumah. Ketika itu perutku tengah penuh, kembung. Pencernaan yang kurang lancar kerap mengharuskanku melakukan beragam ritual pengusir konstipasi. Sebelum memutuskan untuk kembali menegak laksatif, kucobalah sebuah sequence yoga via youtube yang katanya bisa mengurangi begah akibat gas. Sejumlah pose nya yang 'jungkar-jungkir' pada akhirnya menghadapkanku pada pemandangan yang menyenangkan : 
dahan dan ranting pohon dengan kuning bunga petai yang bergelantungan, langit biru bersih, dan wind-chimes yang saling beradu dengan angin menghasilkan suara 'kling-kling-kling'. 

Benda-benda tersebut memang berada pada tempatnya masing-masing seperti hari-hari biasanya.Tidak ada yang berubah. Namun, kedirianku yang tengah menengadah dengan posisi kepala di bawah menjadikan sudut pandangku terhadap kebun berubah 180 derajat (literally). Dan, suasana kebun pada menit itu terasa baru dan menyegarkan. Hangat sinar matahari pukul setengah delapan pagi serasa memijat wajah dan badanku. Ah. Seketika fokusku terhadap napas dan perut buyar, berjalin menjadi lamunan--yang menenangkan. 



Wednesday 20 May 2015

Bila Ajal Menjemputmu di Toserba, Apa yang Kau Bawa Serta?



Beberapa minggu belakangan, layar kaca dan berbagai portal berita tengah diselimuti berita duka. Sejumlah seniman hingga petinggi negara berpulang menghadap Sang Pencipta.  Kebetulan, salah satu orang terdekatku juga belum lama meninggal dunia. Sebuah lagu yang kerap kuputar di sela pekerjaan atau di tengah perjalanan akhir-akhir ini pun mencuri perhatianku lebih dari biasanya ; ada sepenggal liriknya yang tak bisa lepas terngiang di kepala :

"Cukuplah sebuah nasihat untuk yang bernyawa itu kematian. Cukuplah tipu dan muslihat nikmat waktu luang, kesehatan…" (*)

Hari demi hari, kematian seolah ingin menyapaku--atau kita--yang telah lama abai terhadap kehadirannya. Seolah-olah ia bukan sesuatu yang niscaya dan tak akan hadir dalam waktu dekat, setidaknya bukan untuk menghampiri kita. Padahal, ia senantiasa menunggu di persimpangan jalan, mengintip jam tangannya seraya berkata :

"Jam sekian, si (...isi nama...) gua jemput dah".

Lantas, apa yang tengah kita lakukan kala itu?

                                                                          ...

Aku menganalogikan sosok malaikat pencabut nyawa sebagai seorang teman backpacking yang tengah menunggu kita belanja perbekalan di toserba sambil merokok di parkiran.

"Bentar yakk," ujar kita.
"Iye buru. Beli yang perlu-perlu aja ", balasnya.

Sesampainya di dalam--karena itu toserba terakhir yang akan dijumpai sebelum perjalanan dimulai--kalaplah kita :

“…widihh, enak nih aromanis buat di jalan! Eh, habis itu kan ntar haus…hm…beli minumnya ah sekalian. Minumnya kopi dingin kali yaa,  biar di jalan nggak ngantuk?? Lah, tapi ntar kerongkongan makin seret…yaudah ni teh bot*l  gua beli dah sekalian.
Eh eh bentarrr,  gua ntar bakal naik elf kan ya? Ah, mendingan sekalian beli masker sama parfum dah, biar nggak bau keringetan. Abis itu dilap ama tisu basah terus sisiran. Cling lagi deh. Beli juga ah tisu, parfum ama sisirnya! Mmm…ini sendal jepit perlu nggak ya…siapa tau ni sendal cebanan gua putus di jalan. Yaudah deh. ambil semua. 
Yah! Duit gua gak cukuppp. Eh tuh ada dompet nongol! Gua comot ga bakal ketauan lah ya…hehehe. " 

Sadar akan waktu yang terbatas, teman kita mengetuk pintu kaca toserba. Kita yang tengah sibuk mengutil dompet orang untuk membayar seluruh belanjaan pun abai terhadap pertandanya.
Dan tak lama, ia telah berdiri di belakang, menepuk bahu kita: 

"Yuk cabut. Belanja apaan aja lu?"

Kaget dan tersentak, walhasil kita serta merta menjawab gelagapan, "hehe..ini..gua bawa bekel buat jaga-ja..."
"Gak perluuuu!! Banyak ama belanjaan lau! Orang kita cuma perlu air sama rotii," ujarnya marah. "Kan udah gua bilang, bawa bekel secukupnya, biar gak bikin berat di jalan! Yaudah buru bayar, abis itu cabut. Tuh elf udah nunggu di depan!”

Sembari bersungut-sunggut, kita pun bergegas  membayar seluruh belanjaan.
"Yailahhh pake duit colongan pula," ia geleng-geleng kepala. 

Kita berjalan tertatih dengan beban kantung-kantung plastik belanjaan yang ditenteng di kedua tangan. Sebagian barang tercecer di jalanan.

"Mana air putih sama roti?,” tanya sang teman.
"Astagfirullah aladziim! Lupaaaa!"
"Alahh.. udah nggak guna istighfar lu… ini elf udah jalan. Gak ada lagi toserba sepanjang desa nanti. Udah gua bilang, belanja secukupnya, beli seperlunya, ambil yang bener-bener diperluin. Sisanya cuma ngebuat lu berat dan terbebani sepanjang jalan. Belum lagi kalo ketemu orang yang duitnya lu copet, minta pertanggungjawaban. Idih, lu kasih dah tuh sisir ama tisu..." 

...

"To the well -organized mind, death is but the next big adventure." ujar JK Rowlling suatu ketika.

Begitulah bagiku kematian. Untuk yang sadar dirinya telah ditunggu teman dan dinanti elf untuk sebuah pengembaraan panjang, tentu ia tak menghabiskan waktunya berlama lama di toserba--yakni alam dunia--dengan barang tak jelas guna ;

Ambil yang perlu, secukupnya, sesuai ketetapan -Nya. Jangan terjebak bujuk rayu toserba dengan segala manis kembang gula. Sakit gigi kau dibuatnya. (Lagipula, kemana kau bisa cari klinik gigi di alam baka?)

Dan, tak perlu cemas gelagapan bila sang "teman" memanggilmu, menepuk bahu, dan mengajak pergi. Toh, kita hendak melanjutkan perjalanan  dari sebuah toserba sempit di simpang jalan menuju hamparan luas bukit hijau dan padang-ilalang yang menyimpan sejuta rahasia beserta kemungkinan.
Doakan saja, agar mereka yang tengah mengembara mendahului kita dari “toserba” menemukan jalan terang menuju haribaan-Nya...



...tanpa tersandung sisir dan tisu yang tercecer.


Semoga. 

*lirik lagu “Berlayar di Daratan”-Semakbelukar

** foto ilustrasi : freeimages.com 

Monday 30 June 2014

Hutang Besar Dari Sebulan Mendengar


“Mengingkari” harapan adalah salah satu kesalahan yang paling takut saya lakukan terhadap orang lain. Membuat kecewa, memupuk rasa tak lagi percaya, apalagi bila sampai membuat luka yang akhirnya melahirkan bisik-bisik “Alah, dia mah nggak bisa diandalkan”. Perasaan ini cukup mengganggu, memang. Terlebih sebagai manusia, kesalahan sudah barang tentu menjadi nama tengah kita, tak peduli seberapa mahir kita bekerja. Namun, setiap orang memiliki suatu hal yang berpotensi mengundang rasa bersalah dalam diri mereka. Dan bagi saya, membuat kecewa adalah salah satunya.

Kadang perasaan serba-bersalah ini muncul bahkan sebelum saya mulai mengerjakan suatu apapun. Khawatir berlebihan, boleh dikata. Menurut buku yang pernah saya baca, perasaan ini bisa jadi disebabkan oleh pola asuh orangtua yang otoriter dan perfeksionis, menuntut segala sesuatunya berjalan dengan sempurna. Yah, apapun itu, yang jelas, saya semakin merasa bersalah dan serba-salah ketika hal yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Dilontarkan begitu saja dalam obrolan ringan di dalam mobil.

“KKN ayeuna mah, asa teu kadangu nanaon nya. Ha ha ha, sararepi wae.” (KKN sekarang tidak kedengaran apa-apa ya, sepi-sepi aja). Ibu yang menumpangi saya dan teman saya menuju Conggeang berkata demikian, entah menyindir atau memang tak disengaja. Saya mual seketika. Mual karena merasa telah mengecewakan orang dan karena aspal jalan yang  dilalui memang benar-benar rusak berlubang tidak keruan.

Sepanjang jalan kami berbincang. Saya, seorang teman saya, dan keluarga si-ibu-kecewa yang berjumlah lima orang. Sebisa mungkin saya menyisipkan pernyataan yang menjelaskan bahwa program KKNM Unpad kali ini tidak berorientasi pembangunan, hanya diminta untuk turut merasakan kehidupan desa dan bantu-bantu ala kadarnya. Alih-alih dimaklumi, ibu tersebut kembali mengungkapkan serangkaian keluhan serta harapan, harapan, dan harapannya. Saya merasa simpati dan terbebani sekaligus. Duh.

Rasa bersalah ini ternyata juga dialami oleh teman-teman KKN lainnya yang saat itu satu nasib dengan saya untuk berada satu bulan di Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang. Terlebih karena sikap warga desa yang luarbiasa ramah dan murah hati. Rumah tinggal kami kerap disinggahi warga yang membawa serta nasi kuning, keripik, lauk nasi, bahkan televisi. “Kesannya kita numpang tinggal dan ngerepotin doang yah, di sini”, ujar salah satu dari kami suatu hari.



Sebenarnya saya setuju dengan kebijakan Unpad kali ini yang tidak meminta kami untuk muluk-muluk membangun perubahan di suatu tempat yang bahkan masih asing sama sekali bagi kami. Rasakan saja dulu, bagaimana warga desa biasa hidup sehari-hari tanpa disertai kemudahan yang ada di kota pada umumnya. Belajar merasai, belajar berempati.

Kebijakan ini, menurut saya pribadi, sudah sesuai dengan disiplin ilmu strata satu yang memang membekali murid didiknya menjadi akademisi. Mengkaji teori kemudian merumuskan solusi tanpa harus jadi yang turun langsung membenahi berbagai hal kesana-kemari. Intinya kami diminta untuk merumuskan permasalahan dan potensi desa, yang kemudian bisa disampaikan ke pihak-pihak terkait agar segera ditangani dan dicarikan solusi. Itu saja.

Namun, hidup bersama masyarakat desa yang cenderung pragmatis, tentu kami tidak bisa hanya duduk diam mengamati berbagai persoalan keseharian yang mereka hadapi. Tetap perlu ada bentuk “riil” hasil kerja kami yang dapat dinikmati—setidaknya dilihat—warga desa.  Untuk itulah, kami bertujuh belas merundingkan apa-apa saja yang akan dikerjakan sebulan ke depan. Mulai dari ikut berlatih memainkan gamelan, membantu pengerjaan RPJM desa, membuat plang peringatan, hingga membuat serangkaian lomba di PAUD dan SD setempat. Dari hal itu saja sebenarnya sangat banyak hal yang dapat saya jadikan pelajaran, baik ketika berinteraksi dengan warga desa maupun teman-teman satu kelompok.

Ada satu hal yang membuat “program empati” kami berjalan cukup sukses. Sinyal komunikasi selular yang benar-benar buruk alhasil menjauhkan kami dari koneksi internet sumber segala media sosial yang dipercaya “menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh”. Sebutlah facebook, twitter, path, instagram. Semua diganti menjadi obrolan santai di malam hari, keliling rumah warga di siang hari, berkumpul dan bermin dengan anak-anak, dan sebagainya. Tidak lagi asyik sendiri, komunikasi langsung terjadi setiap saat.

Hal ini juga mengajari saya untuk lebih banyak mendengar. Sangat banyak informasi dan hal baru yang dapat dipelajari—yang mungkin tak bisa didapat lewat internet—ketika menjalin komunikasi tatap muka. Saya jadi bisa lebih merasakan emosi lawan bicara karena saya benar-benar ada di sana bersama mereka, menatap raut mukanya, dan mendengar nada suaranya. Tidak semata-mata membaca tulisan singkat di layar sentuh. Bisa jadi ini merupakan alasan mengapa warga Desa Cipelang begitu ramah dan murah hati. Karena mereka selalu berinteraksi dengan saling mendengar dan merasakan, juga ada di sana ketika dibutuhkan.

Sepertinya mendengar memang modal terpenting untuk bisa memahami. Di hari-hari terkahir ketika suara-suara warga desa makin akrab di telinga, ketika itu pula saya semakin merasa bahwa “suara” mereka perlu diberi pelantang agar sampai pada mereka yang memiliki tanggung jawab. Harapan mereka secara tak disadari menjelma harapan saya pula.
***
“KKN ayeuna mah, asa teu kadangu nanaon nya. Ha ha ha, sararepi wae.”
Perkataan itu kini lebih membuat saya merasa berhutang daripada bersalah. Berhutang untuk lebih banyak mendengar dan menyampaikan suara tentang yang diderita, agar suatu saat, banjir, jalan rusak, sungai kotor, polindes tanpa bidan jaga, hanya dikenang sebagai cerita tanpa pernah dirasakan lagi kehadirannya.











Thursday 24 October 2013

The Wolves (Act I And II)

Someday my pain, someday my pain
Will mark you
Harness your blame, harness your blame
And walk through

With the wild wolves around you
In the morning, I'll call you
Send it farther on

Solace my game, solace my game
It stars you
Swing wide your crane, swing wide your crane
And run me through

And the story's all over you
In the morning i'll call you
Can't you find a clue when your eyes are all painted Sinatra blue

What might have been lost -
Don't bother me

-Justin Vernon


Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...