“Mengingkari”
harapan adalah salah satu kesalahan yang paling takut saya lakukan terhadap
orang lain. Membuat kecewa, memupuk rasa tak lagi percaya, apalagi bila sampai
membuat luka yang akhirnya melahirkan bisik-bisik “Alah, dia mah nggak bisa
diandalkan”. Perasaan ini cukup mengganggu, memang. Terlebih sebagai manusia,
kesalahan sudah barang tentu menjadi nama tengah kita, tak peduli seberapa
mahir kita bekerja. Namun, setiap orang memiliki suatu hal yang berpotensi
mengundang rasa bersalah dalam diri mereka. Dan bagi saya, membuat kecewa
adalah salah satunya.
Kadang
perasaan serba-bersalah ini muncul bahkan sebelum saya mulai mengerjakan suatu
apapun. Khawatir berlebihan, boleh dikata. Menurut buku yang pernah saya baca,
perasaan ini bisa jadi disebabkan oleh pola asuh orangtua yang otoriter dan
perfeksionis, menuntut segala sesuatunya berjalan dengan sempurna. Yah, apapun
itu, yang jelas, saya semakin merasa bersalah dan serba-salah ketika hal yang
dikhawatirkan benar-benar terjadi. Dilontarkan begitu saja dalam obrolan ringan
di dalam mobil.
“KKN
ayeuna mah, asa teu kadangu nanaon nya.
Ha ha ha, sararepi wae.” (KKN
sekarang tidak kedengaran apa-apa ya, sepi-sepi aja). Ibu yang menumpangi saya
dan teman saya menuju Conggeang berkata demikian, entah menyindir atau memang
tak disengaja. Saya mual seketika. Mual karena merasa telah mengecewakan orang
dan karena aspal jalan yang dilalui memang
benar-benar rusak berlubang tidak keruan.
Sepanjang
jalan kami berbincang. Saya, seorang teman saya, dan keluarga si-ibu-kecewa
yang berjumlah lima orang. Sebisa mungkin saya menyisipkan pernyataan yang
menjelaskan bahwa program KKNM Unpad kali ini tidak berorientasi pembangunan,
hanya diminta untuk turut merasakan kehidupan desa dan bantu-bantu ala
kadarnya. Alih-alih dimaklumi, ibu tersebut kembali mengungkapkan serangkaian
keluhan serta harapan, harapan, dan harapannya. Saya merasa simpati dan
terbebani sekaligus. Duh.
Rasa
bersalah ini ternyata juga dialami oleh teman-teman KKN lainnya yang saat itu
satu nasib dengan saya untuk berada satu bulan di Desa Cipelang, Kecamatan
Ujungjaya, Kabupaten Sumedang. Terlebih karena sikap warga desa yang luarbiasa
ramah dan murah hati. Rumah tinggal kami kerap disinggahi warga yang membawa
serta nasi kuning, keripik, lauk nasi, bahkan televisi. “Kesannya kita numpang
tinggal dan ngerepotin doang yah, di sini”, ujar salah satu
dari kami suatu hari.
Sebenarnya
saya setuju dengan kebijakan Unpad kali ini yang tidak meminta kami untuk
muluk-muluk membangun perubahan di suatu tempat yang bahkan masih asing sama
sekali bagi kami. Rasakan saja dulu, bagaimana warga desa biasa hidup
sehari-hari tanpa disertai kemudahan yang ada di kota pada umumnya. Belajar merasai,
belajar berempati.
Kebijakan
ini, menurut saya pribadi, sudah sesuai dengan disiplin ilmu strata satu yang memang
membekali murid didiknya menjadi akademisi. Mengkaji teori kemudian merumuskan
solusi tanpa harus jadi yang turun langsung membenahi berbagai hal
kesana-kemari. Intinya kami diminta untuk merumuskan permasalahan dan potensi
desa, yang kemudian bisa disampaikan ke pihak-pihak terkait agar segera
ditangani dan dicarikan solusi. Itu saja.
Namun,
hidup bersama masyarakat desa yang cenderung pragmatis, tentu kami tidak bisa
hanya duduk diam mengamati berbagai persoalan keseharian yang mereka hadapi.
Tetap perlu ada bentuk “riil” hasil kerja kami yang dapat dinikmati—setidaknya
dilihat—warga desa. Untuk itulah, kami
bertujuh belas merundingkan apa-apa saja yang akan dikerjakan sebulan ke depan.
Mulai dari ikut berlatih memainkan gamelan, membantu pengerjaan RPJM desa,
membuat plang peringatan, hingga membuat serangkaian lomba di PAUD dan SD setempat.
Dari hal itu saja sebenarnya sangat banyak hal yang dapat saya jadikan
pelajaran, baik ketika berinteraksi dengan warga desa maupun teman-teman satu
kelompok.
Ada
satu hal yang membuat “program empati” kami berjalan cukup sukses. Sinyal
komunikasi selular yang benar-benar buruk alhasil menjauhkan kami dari koneksi
internet sumber segala media sosial yang dipercaya “menjauhkan yang dekat,
mendekatkan yang jauh”. Sebutlah facebook, twitter, path, instagram. Semua
diganti menjadi obrolan santai di malam hari, keliling rumah warga di siang
hari, berkumpul dan bermin dengan anak-anak, dan sebagainya. Tidak lagi asyik
sendiri, komunikasi langsung terjadi setiap saat.
Hal
ini juga mengajari saya untuk lebih banyak mendengar. Sangat banyak informasi
dan hal baru yang dapat dipelajari—yang mungkin tak bisa didapat lewat
internet—ketika menjalin komunikasi tatap muka. Saya jadi bisa lebih merasakan
emosi lawan bicara karena saya benar-benar ada di sana bersama mereka, menatap
raut mukanya, dan mendengar nada suaranya. Tidak semata-mata membaca tulisan
singkat di layar sentuh. Bisa jadi ini merupakan alasan mengapa warga Desa
Cipelang begitu ramah dan murah hati. Karena mereka selalu berinteraksi dengan
saling mendengar dan merasakan, juga ada di sana ketika dibutuhkan.
Sepertinya
mendengar memang modal terpenting untuk bisa memahami. Di hari-hari terkahir
ketika suara-suara warga desa makin akrab di telinga, ketika itu pula saya
semakin merasa bahwa “suara” mereka perlu diberi pelantang agar sampai pada
mereka yang memiliki tanggung jawab. Harapan mereka secara tak disadari menjelma
harapan saya pula.
***
“KKN
ayeuna mah, asa teu kadangu nanaon nya.
Ha ha ha, sararepi wae.”
Perkataan
itu kini lebih membuat saya merasa berhutang daripada bersalah. Berhutang untuk
lebih banyak mendengar dan menyampaikan suara tentang yang diderita, agar suatu
saat, banjir, jalan rusak, sungai kotor, polindes tanpa bidan jaga, hanya
dikenang sebagai cerita tanpa pernah dirasakan lagi kehadirannya.