Monday 30 June 2014

Hutang Besar Dari Sebulan Mendengar


“Mengingkari” harapan adalah salah satu kesalahan yang paling takut saya lakukan terhadap orang lain. Membuat kecewa, memupuk rasa tak lagi percaya, apalagi bila sampai membuat luka yang akhirnya melahirkan bisik-bisik “Alah, dia mah nggak bisa diandalkan”. Perasaan ini cukup mengganggu, memang. Terlebih sebagai manusia, kesalahan sudah barang tentu menjadi nama tengah kita, tak peduli seberapa mahir kita bekerja. Namun, setiap orang memiliki suatu hal yang berpotensi mengundang rasa bersalah dalam diri mereka. Dan bagi saya, membuat kecewa adalah salah satunya.

Kadang perasaan serba-bersalah ini muncul bahkan sebelum saya mulai mengerjakan suatu apapun. Khawatir berlebihan, boleh dikata. Menurut buku yang pernah saya baca, perasaan ini bisa jadi disebabkan oleh pola asuh orangtua yang otoriter dan perfeksionis, menuntut segala sesuatunya berjalan dengan sempurna. Yah, apapun itu, yang jelas, saya semakin merasa bersalah dan serba-salah ketika hal yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Dilontarkan begitu saja dalam obrolan ringan di dalam mobil.

“KKN ayeuna mah, asa teu kadangu nanaon nya. Ha ha ha, sararepi wae.” (KKN sekarang tidak kedengaran apa-apa ya, sepi-sepi aja). Ibu yang menumpangi saya dan teman saya menuju Conggeang berkata demikian, entah menyindir atau memang tak disengaja. Saya mual seketika. Mual karena merasa telah mengecewakan orang dan karena aspal jalan yang  dilalui memang benar-benar rusak berlubang tidak keruan.

Sepanjang jalan kami berbincang. Saya, seorang teman saya, dan keluarga si-ibu-kecewa yang berjumlah lima orang. Sebisa mungkin saya menyisipkan pernyataan yang menjelaskan bahwa program KKNM Unpad kali ini tidak berorientasi pembangunan, hanya diminta untuk turut merasakan kehidupan desa dan bantu-bantu ala kadarnya. Alih-alih dimaklumi, ibu tersebut kembali mengungkapkan serangkaian keluhan serta harapan, harapan, dan harapannya. Saya merasa simpati dan terbebani sekaligus. Duh.

Rasa bersalah ini ternyata juga dialami oleh teman-teman KKN lainnya yang saat itu satu nasib dengan saya untuk berada satu bulan di Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang. Terlebih karena sikap warga desa yang luarbiasa ramah dan murah hati. Rumah tinggal kami kerap disinggahi warga yang membawa serta nasi kuning, keripik, lauk nasi, bahkan televisi. “Kesannya kita numpang tinggal dan ngerepotin doang yah, di sini”, ujar salah satu dari kami suatu hari.



Sebenarnya saya setuju dengan kebijakan Unpad kali ini yang tidak meminta kami untuk muluk-muluk membangun perubahan di suatu tempat yang bahkan masih asing sama sekali bagi kami. Rasakan saja dulu, bagaimana warga desa biasa hidup sehari-hari tanpa disertai kemudahan yang ada di kota pada umumnya. Belajar merasai, belajar berempati.

Kebijakan ini, menurut saya pribadi, sudah sesuai dengan disiplin ilmu strata satu yang memang membekali murid didiknya menjadi akademisi. Mengkaji teori kemudian merumuskan solusi tanpa harus jadi yang turun langsung membenahi berbagai hal kesana-kemari. Intinya kami diminta untuk merumuskan permasalahan dan potensi desa, yang kemudian bisa disampaikan ke pihak-pihak terkait agar segera ditangani dan dicarikan solusi. Itu saja.

Namun, hidup bersama masyarakat desa yang cenderung pragmatis, tentu kami tidak bisa hanya duduk diam mengamati berbagai persoalan keseharian yang mereka hadapi. Tetap perlu ada bentuk “riil” hasil kerja kami yang dapat dinikmati—setidaknya dilihat—warga desa.  Untuk itulah, kami bertujuh belas merundingkan apa-apa saja yang akan dikerjakan sebulan ke depan. Mulai dari ikut berlatih memainkan gamelan, membantu pengerjaan RPJM desa, membuat plang peringatan, hingga membuat serangkaian lomba di PAUD dan SD setempat. Dari hal itu saja sebenarnya sangat banyak hal yang dapat saya jadikan pelajaran, baik ketika berinteraksi dengan warga desa maupun teman-teman satu kelompok.

Ada satu hal yang membuat “program empati” kami berjalan cukup sukses. Sinyal komunikasi selular yang benar-benar buruk alhasil menjauhkan kami dari koneksi internet sumber segala media sosial yang dipercaya “menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh”. Sebutlah facebook, twitter, path, instagram. Semua diganti menjadi obrolan santai di malam hari, keliling rumah warga di siang hari, berkumpul dan bermin dengan anak-anak, dan sebagainya. Tidak lagi asyik sendiri, komunikasi langsung terjadi setiap saat.

Hal ini juga mengajari saya untuk lebih banyak mendengar. Sangat banyak informasi dan hal baru yang dapat dipelajari—yang mungkin tak bisa didapat lewat internet—ketika menjalin komunikasi tatap muka. Saya jadi bisa lebih merasakan emosi lawan bicara karena saya benar-benar ada di sana bersama mereka, menatap raut mukanya, dan mendengar nada suaranya. Tidak semata-mata membaca tulisan singkat di layar sentuh. Bisa jadi ini merupakan alasan mengapa warga Desa Cipelang begitu ramah dan murah hati. Karena mereka selalu berinteraksi dengan saling mendengar dan merasakan, juga ada di sana ketika dibutuhkan.

Sepertinya mendengar memang modal terpenting untuk bisa memahami. Di hari-hari terkahir ketika suara-suara warga desa makin akrab di telinga, ketika itu pula saya semakin merasa bahwa “suara” mereka perlu diberi pelantang agar sampai pada mereka yang memiliki tanggung jawab. Harapan mereka secara tak disadari menjelma harapan saya pula.
***
“KKN ayeuna mah, asa teu kadangu nanaon nya. Ha ha ha, sararepi wae.”
Perkataan itu kini lebih membuat saya merasa berhutang daripada bersalah. Berhutang untuk lebih banyak mendengar dan menyampaikan suara tentang yang diderita, agar suatu saat, banjir, jalan rusak, sungai kotor, polindes tanpa bidan jaga, hanya dikenang sebagai cerita tanpa pernah dirasakan lagi kehadirannya.











Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...