Saturday 9 February 2013

Menjemput Pagi


“A morning person is someone who generally feels at his or her best during the hours before noon. Many morning people feel energized after a full night's sleep and can shake what few cobwebs remain by taking a bracing morning shower. They often find the early hours are also ideal for taking care of routine matters…” ( Via Wisegeek.com)

Pagi itu magical. Kita bisa meluangkan waktu untuk berkegiatan lebih banyak dengan bangun lebih awal. Memang seringkali malas rasanya, apalagi bila semalam kurang tidur. Para bantal dan selimut tidak akan semudah itu membiarkanmu angkat kaki menuju kamar mandi untuk memulai hari. Enak memang, mengulur waktu untuk sekedar berleyeh-leyeh hingga akhirnya tertidur kembali. Saya kerap melakukan hal yang sama, namun juga sering menyesal dan nyesek ketika bangun dan melirik jam.

Hah! Harusnya sekarang udah mandi, udah siap-siap pergi…harusnya sekarang udah sarapan sambil nerusin tugas kemaren…harusnya tadi ga usah tidur lagi…harusnya…harusnya…

***
Jendela kamar saya terbilang besar, tepat berada di belakang kepala tempat tidur. Cahaya matahari bisa sesukanya menerobos masuk ke ruangan kapan saja selama tidak ada kerumunan awan yang menghalangi. Belum lagi langit-langit kamar yang diberi jendela cahaya, yang juga berada tepat menghadap tempat tidur. Siang sedikit, silaunya bukan main. Bukan lagi alarm yang membangunkan saya bila siang menjelang. Matahari seolah memiliki tugas sampingan untuk membuat gerah si malas untuk segera beranjak dari kasurnya yang mungkin juga mulai kepanasan.

 “Bangun kamu! Saya aja udah kerja dari subuh, kamu ngapain aja di sana, hah?” pekik Matahari nun jauh di atas sana.

“Santai aja kali woy! Emang kerjaan kamu mulainya dari jam segitu! Ngurusin amat anak orang!” si malas balik menggerutu.

Ia kembali membenamkan wajahnya pada bantal yang terasa tidak senyaman sebelumnya, sebab ia teringat akan berbagai hal yang seharusnya sudah selesai dikerjakan saat itu…

***
Saya menghubungi seorang teman untuk berangkat ke suatu tempat di bilangan Dago Pakar pukul 5 pagi tepat. Sekitar pukul lima kurang, ia datang. Kami kemudian langsung meluncur di jalanan sepi, sebagian besar toko dan rumah masih tertidur nyenyak. Dua cangkir kopi instan tidak lupa kami beli di salah satu gerai 24 jam, untuk diseruput sambil duduk menunggu si Matahari yang sedang bersiap-siap muncul, dan kembali bekerja hingga petang. Haha, saya lebih dulu kali ini, tuan.

Sepanjang jalan, saya mengamati Matahari yang nampak masih malas menyapa semesta alam di antara kabut Bandung yang membuai. Sosoknya menggeliat dari balik gunung, berselimut awan. Apa kira-kira yang akan ia katakan ketika melihat si malas saat ini sudah memandanginya dari bukit, menyeruput kopi hangat sambil bersenandung?

"Hai. Apa aku membangunkanmu dari tidur?"

Ssst..tidur saja lagi, nona. 













Bingo! Kamu masih sembunyi di balik gunung













Nah, selamat pagi, tuan Matahari!
























Saya menyapanya dengan terkekeh. Ia tidak mengacuhkan, seolah tidak pernah ada saya di sana. Beberapa saat kemudian, hangat mulai merayap ke sekujur tubuh saya, sementara sisa kopi tadi berangsur kehilangan nikmatnya, dingin. Sinarnya menerpa semak dan pepohonan yang jadi terlihat berkilauan karena sisa embun yang masih menempel. Juga menerpa rambut saya, yang jadi terlihat kemerahan karena kurang terawat. Huh. 

Kami sejenak berbincang, bertiga. Matahari menantang kami untuk terus menjemputnya setiap hari, dari mana saja. Dari kamar, dari kampus, dari jalanan, atau dari tempat-tempat tinggi lainnya agar ia bisa sambil mengobrol ringan tentang apapun, sebelum mulai kembali bekerja. Tentang celoteh manusia yang kepanasan di siang hari, namun juga tidak rela jemurannya tidak kering bila Matahari memilih mengalah pada awan. Tentang para pencinta sajak yang kerap duduk dengan pandangan mengawang di sore hari, berusaha merumus senja jadi puisi. Tentang tempat persembunyiannya ketika Bulan sedang berjaga, tentang hujan tiba-tiba yang memunculkan Pelangi, dan banyak lagi...

Saya kemudian berusaha untuk selalu bangun lebih awal dari biasanya, agar tidak lagi dibangunkan Matahari.  Tugasnya sudah banyak, lebih baik saya menjemputnya dari jendela kamar. Mengajaknya berbincang dengan secangkir kopi dan roti bakar.
***
Hari-hari berlalu, dan apa yang orang bilang sebagai "Morning Person" ternyata cukup menggambarkan saya setelah perbincangan pertama dengan si Matahari. Membuka jendela, membiarkannya menerobos masuk, menghirup udara sebelum tercemar asap kendaraan, membuat sarapan, dan sejenak berpikir tentang apa saja yang akan saya kerjakan hari itu. Tugas-tugas pun jadi memiliki injury time untuk diselesaikan sebelum tenggat waktu yang ditetapkan. Kadang, saya menyempatkan diri untuk menyapa Matahari dari track lari. Namun, ia juga kerap merasa dicurangi ketika saya akhirnya terlelap pada dini hari dengan layar notebook yang menyala, dan kertas yang berserakan. Biasanya ia akan kembali membangunkan saya. 

***
"Heh kamu! Bangun! Saya udah kerja dari tadi! Ngapain aja kamu di sana, hah?!" 

Tidak kah kamu mendengarnya? Coba saja buka jendela, mungkin ia punya cerita...

Sumedang dan Seni Sunda; Sebuah Koma

Sore itu, matahari tidak tampak. Awan kelabu masih menyelimuti langit Jatinangor, dengan basah sisa hujan yang menyeruakkan bau tanah. Ringkikan kuda sesekali terdengar, beradu dengan deru mesin motor yang lalu-lalang. Sebuah istal kuda berdiri di sudut pekarangan rumah itu, rumah sederhana yang masih mempertahankan bentuk bangunan tua yang bersahaja. Kolam ikan dengan air mancur disulap menjadi rumah berbagai kembang pot di sisi taman. Sejuk dan tenang, itulah kesan ketika menapakkan kaki di sebuah rumah di bilangan Sayang, Jatinangor, yang digunakan sebagai ‘kandang’ berkesenian bagi warga Jatinangor khususnya, dan Sumedang pada umumnya. Sebuah papan putih terpampang di bagian depan rumah, bertuliskan “Sanggar Motekar”.

“Silahkan masuk” ujar ibu paruh baya dengan stelan daster dan rambut pendek yang sudah memutih. Setelah bertanya pada seorang pemuda yang menjaga warung di halaman sanggar, kami dipertemukan dengan ibu pemilik rumah dan sanggar tersebut. Ruang tamunya sederhana dan temaram. Foto-foto keluarga dipajang di dinding, yang membuat kami langsung tahu bahwa ibu tersebut memiliki dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. “Bapak sudah nggak ada, ibu nggak bisa bicara panjang lebar tentang sanggar. Takutnya salah,” ujarnya seraya tersenyum.

Adalah alm. Supriatna, sang bapak pemilik Sanggar Motekar, yang juga merupakan mantan kepala sekolah SD Jatinangor. Ia mulai berkesenian sejak tahun 1980, bermula dari membina anak-anak untuk mempersiapkan penampilan di hari-hari besar, seperti pada 17 Agustusan, ia mempersiapkan acara dan perlombaan. Ia pada awalnya adalah guru olahraga, namun kecintaannya pada seni membuatnya tetap terus menggiati beragam jenis kesenian tradisional, khusunya kesenian-kesenian Sunda. Sanggar yang didirikannya di tahun 2002 ini diniatkan sebagai sebuah rumah penampung kegiatan-kegiatan seni tradisional Sunda di kalangan masyarakat Jatinangor dan Sumedang, mulai dari karawitan, kuda renggong, tari-tarian, pencak silat, sastra, teater, hingga pendokumentasian budaya Sunda. Ia juga pernah mecipta lagu-lagu yang sudah dialbumkan, kebanyakan isinya bertemakan Jatinangor.

Sanggar ini memiliki jadwal berkesenian setiap harinya. Kebanyakan peserta kegiatan adalah anak-anak SD dan SMP di Jatinangor. Masing-masing cabang seni ‘dipegang kendali’ olehnya. Kecuali kuda renggong, Aki Ali adalah ahilnya. Ia yang melatih dua ekor kuda miliknya untuk menjadi Kuda Renggong yang baik. Supriatna sangat memahami seluk beluk kesenian Sunda, sehingga ia yang mengonsep dan mengarahkan setiap kegiatan seni di sanggar ini. Selain dari kegiatan-kegiatan seni tersebut, sanggar ini juga fokus terhadap kegiatan pendokumentasian artefak-artefak seni Sunda di Jatinangor. Ada pula beberapa mahasiswa yang kerap datang dan membantu dokumentasi dan juga riset fakta dan data mengenai kesenian tradisional Jatinangor yang hampir punah.
Aki Ali dan salah satu kudanya


Di samping rumah, terdapat sebuah panggung kecil yang dibangun dengan batu bata dan semen tanpa dilapis cat. Panggung tersebut berundak, tersusun dari bata dan dasarnya terbuat dari plesteran semen. Tempat ini adalah panggung teater mereka, terutama untuk perayaan Bulan Tok. Bulan Tok adalah sebuah pagelaran seni untuk merayakan purnama bulan. Setiap tanggal 14 kalender Islam, sanggar membuat sebuah pagelaran seni yang dilakoni oleh anak-anak yang mengikuti kegiatan sanggar secara rutin. Menurut ibu, perhitungan menggunakan kalender islam karena bulan purnama akan pas jatuh di tanggal 14, sedangkan menurut perhitungan masehi tidak seperti itu.

Panggung kesenian Sanggar Motekar

Bulan Tok berisikan pementasan drama anak, seperti Si Kabayan, tari-tarian, gamelan, dan semua kegiatan seni yang dimiliki sanggar. Setiap pagelaran seantiasa ramai dikunjungi masyarakat, tidak pernah sepi. Masyarakat sekitar selalu haus akan hiburan. Pernah kala itu, perayaan Bulan Tok dikunjungi oleh turis asing. Perayaan ini merupakan salah satu daya tarik wisata yang dimiliki Sanggar Motekar, dan juga Jatinangor.
Pemegang kesenian kuda renggong adalah Aki Ali. Ia merupakan pewaris ilmu kuda renggong satu-satunya di Sumedang, bahkan Indonesia. Ia adalah generasi terakhir dari para pelakon renggong. Aki Ali, yang sudah akrab dengan kuda sejak anak-anak, sangat mencintai kuda, bahkan melebihi dirinya. “Aki mah gelisah kalau kuda nggak ada pakan, kalau aki gak ada nasi gak masalah,”ujarnya. Pria kelahiran 1942 itu memiliki kemampuan membaca karakter kuda lewat ilmu tersendiri. Menurutnya, bila ingin mendalami renggong, jangan cepat puas bila sudah membuat kuda sedikit berjingkrak. Kuda harus bisa menari, mengikuti ketukan irama musik. Kuda juga memiliki karakter, kita harus mengerti, jangan sampai salah paham,”tuturnya, sesekali diiringi tawa.

Sekian banyak kegiatan yang diperjuangkan Motekar demi kelestarian seni sunda tradisional, hampir seluruh dana dan logistik bersumber dari pribadi. “Bapak paling tidak mau kerjasama dengan pemerintah. Ribet, katanya. Pernah dulu ada tawaran dari Disbudpar mengajak sanggar bergabung dengan sebuah ‘kampung seni’, namun, salah satu syaratnya adalah bagi hasil dari keuntungan penjualan. Komersil, lah, neng, bapak bilang lebih baik begini saja, sanggar kita tetap berdiri sendiri. ” tutur wanita yang kerap disapa ibu Arum ini. Diakuinya,  Disbudpar juga kerap meminta tolong dan meminta bantuan sanggar untuk hal-hal kegiatan seni, namun, tidak pernah ada timbal balik dari pihak Disbudpar. Malah, mereka mengatakan bahwa  Sanggar Motekar belum terdaftar. Maka dari itu, Supriatna memilih untuk tetap mengelola sanggarnya secara mandiri. Seluruh kegiatan seni di sanggar ini memang sama sekali tidak berorientasi keuntungan materi. Anak-anak yang belajar menari, karawitan, dan yang lainnya juga sama sekali tidak pernah dipungut bayaran. Semua digarapnya untuk menghindarkan seni tradisional dari kepunahan.

Supriatna juga merupakan seorang yang gemar dan giat menggeluti sastra sunda. Sudah beberapa karya penulisan yang ia buat, di antaranya sudah dibukukan dan dijual kepada masyarakat. Ia biasa menulis carpon atau cerpen untuk majalah-majalah sunda seperti Mangle dan Cupumanik. Namun, ia tidak menerima royalti atau apapun dari pihak penerbit yang sudah menjual buku-bukunya. Setelah diserahkan kepada penerbit, tidak pernah ada kelanjutan kabar mengenai buku-bukunya.

“Setelah bapak nggak ada, sanggar sepi, nggak hidup. Acara juga belum sempat ada lagi. Kemarin baru 100 harinya bapak. Orang yang kesini juga masih sebatas belasungkawa. Anak-anak yang latihan juga berkurang. Mereka dekatnya sama bapak. Ibu cuma tahu urusan dapur, ngurusin konsumsi kalau lagi ada acara. Masakin anak-anak, masakin ibu-ibu PKK, gitu aja.  Semuanya kerasa beda, neng, kalau bapak nggak ada, ” ujar wanita kelahiran 15 Juni 1955 itu.

Cita-cita yang Tertunda
Ada salah satu pekerjaan yang belum rampung dikerjakan oleh Supriatna. Ia berniat untuk menyusun sebuah ensiklopedia mengenai seluk beluk Kabupaten Sumedang. Ensiklopedia tersebut rencananya akan membahas tokoh-tokoh adat maupun tokoh-tokoh masyarakat di Sumedang, juga mengenai sejarah Sumedang, termasuk di dalamnya adalah kesenian-kesenian Sumedang. Namun, cita-cita mulia tersebut terpaksa ditunda karena kepulanganya ke pangkuan Tuhan di bulan Juni 2012.

Belum ada rencana untuk melanjutkan penyusunan ensiklopedia tersebut, mengingat belum ada penerus yang benar-benar satu tujuan dan satu idealisme dengannya. Anak perempuan keduanya, menurut Arum, adalah salah satu yang memiliki potensi untuk meneruskan penyusunan ensiklopedi tersebut, namun, anak perempuannya tersebut tinggal di Jakarta menjadi guru. Kesibukan ibu kota membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan riset-riset dan pembukuan.

Supriatna juga bercita-cita, panggung kecil di samping halaman rumahnya ingin dijadikan sebuah gedung pertunjukan sederhana, yang dapat menampung dan memelihara segala bentuk kesenian Jatinangor dan Sumedang. Mimpi dan ambisinya untuk terus melestarikan dan mewariskan budaya sunda Jatinangor dan Sumedang akan senantiasa dikenang oleh masyarakat lewat karya-karyanya.

Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...