Friday 25 March 2016

70 Tahun Bandung Lautan Api, Sebuah Memoar Singkat

dibuat untuk mengenang 40 hari wafatnya Djoeningsih Abdoel Moeis.


Kota Bandung memiliki sejarah besar terkait perjuangan dua ratus ribu-an warganya dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI satu tahun pasca proklamasi. 70 tahun lalu, kesepakatan tentara sekutu , Inggris dan Nederlands Indie Civil Administration (NICA) untuk menyerahkan Bandung kepada Belanda dan mendudukinya sebagai markas strategis militer mereka berujung pada aksi heroik pembumihangusan kota oleh seluruh warga.

Sejarah yang kemudian dikenal sebagai Bandung Lautan Api ini masih terus diperingati setiap tahunnya di Kota Bandung, termasuk malam hari Rabu dua hari lalu (23/3) dimana pawai obor, aksi teatrikal hingga ‘nobar’ dipenuhi masyarakat meski hujan mengguyur. Kemeriahan yang—seperti tahun-tahun sebelumnya—hanya kuintip via linimasa atau portal berita daring, mengingat secara pribadi aku tak punya ikatan emosi khusus terhadap peristiwa bersejarah tersebut atau minimal rasa ketertarikan yang cukup untuk membuatku meleburkan diri ke dalam euforia perayaan warga kota.

Bandung Lautan Api di benakku hinggap sebagai penggalan cerita tentang rumah dan harta yang hangus terbakar dan warga yang berbondong-bondong lari ke arah selatan, tidak lebih dari itu. Dan mungkin selamanya akan tetap seperti itu kalau saja aku tidak iseng membuka tumpukan map kuning dan buku gambar ukuran A3 yang tergeletak di lantai kamar (alm) nenekku.

 “Itu klipingan nenek,” ujar uwa[1]-ku yang ketika itu tengah merapikan lemari berisi kertas-kertas dan berkas-entah-apa di kamar tersebut.

Kubuka lembar demi lembar tumpukan A3 tersebut dan kubaca sejumlah potongan berita surat kabar yang ditempel di sana, kutelusuri isi tulisan dalam kertas-kertas yang sebagian besar telah menguning. Isi kepalaku saat itu terbagi antara berusaha mencerna berita yang terpampang dengan mengutuki diri sendiri, kenapa tidak kau habiskan waktu lebih banyak dengan duduk dan berbincang bersama nenek ketika ia hidup.  Penggalan percakapan dari film yang belum lama kutonton terlintas dalam benak,

 “It just means that after somebody dies you can still keep learning about them, you know, their life. It can keep unfolding itself to you…just as long as you keep pay attention to it”Me and Earl and The Dying Girl
***
“Saya ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat. Kalaupun tidak bisa memberi materi, tenaga pun tak apalah, karena memang hanya itu yang saya miliki[2]” begitu petikan percakapan salah satu majalah wanita 20 tahun silam dengan Djoeningsih Abdoel Moeis, nenek 11 cucu yang ketika itu berusia 70-an tahun. Nenekku. Nenek yang saat itu baru ku ketahui ternyata menjadi salah satu pemeran dalam potongan skenario “warga yang membakar rumahnya dan berlari ke arah selatan” dalam benakku. 

Ternyata tidak sesederahan itu kejadiannya. Warga bahu-membahu membuat benteng pertahanan, berlari-lari di antara desing mortir, termasuk di dalamnya rasa cemas,was-was,sekaligus keikhlasan yang saling bercampur menjelma semangat juang, yang nampaknya tak kalah panas dari api yang mereka sulut sepanjang jalan. Ketika itu usia nenek hanya lebih tua tiga tahun dariku saat ini.  

Foto keluarga Sastrawiria di bilangan Dago, Bandung, sekitar awal 1930-an. Djoeningsih berdiri di paling kiri. (dok.pribadi)

Momen Bandung Lautan Api mungin merupakan salah satu titik pengalaman paling berharga dan paling berkesan dalam dirinya, momen ketika kariernya sebagai tenaga pengajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS—setingkat Sekolah Dasar sekarang) kesastraan berlanjut ke ‘medan tempur’. Ketika di HIS, rekan seangkatannya yang mayoritas pria banyak yang turun berperang. Djoen muda tidak diperkenankan oleh orangtuanya untuk membantu. “Buat apa perempuan ikut berperang![3]” ujar ayahnya saat itu.

Meski tidak ikut angkat senjata, sedari belia nyatanya ia mampu menemukan cara untuk turut membaktikan tenaga dan pikirannya melalui organisasi. Sejak usia 15 tahun ia menjadi salah satu pengurus Indonesia Muda; organisasi lanjutan dari Sumpah Pemuda. Pada 1940, ia mempimpin Indonesia Muda cabang Bandung—usianya menjelang 19 kala itu. Sempat berurusan dengan Politik Inlichtingen Dienst (PID) tak membuat dirinya enggan berorganisasi kembali. Ia kelak mengetuai Yoshi Seinendan Priangan (yang kemudian membubarkan diri dan berubah menjadi Barisan Puteri Indonesia).

Kegemarannya dalam menulis membuat dirinya diminta untuk bergabung menjadi wartawati oleh sejumlah rekan. Ia kemudian tercatat sebagai salah satu dari sedikit wartawati surat kabar regional Bandung, Tjahaja terbitan Djawa Shinboen Kai yang diawasi oleh Sedenbu. Kala itu Oto Iskandar Dinata ditunjuk sebagai pemimpin bersama R.Branata dan Mohammad Kurdi. Liputan pertama Djoen berlangsung sekembalinya ia dari kongres Dewan Pimpinan Pemuda di Yogyakarta (hasilnya memutuskan tiap pemuda perwakilan daerah agar kembali ke daerahnya untuk mempertahankan pos dan mendirikan organisasi Pemuda Puteri Indonesia (PPI) setempat).

Djoeningsih (duduk paling kiri) bersama para anggota Indonesia Muda tahun 1939 yang diketuai Muhadi (duduk di tengah depan). (Sumber:Ibnu Ridwan, Ma'mun.1998. Profil Pejuang Angkatan '45 : Pengabdian dan Nilai-nilai Luhur '45. Jakarta : Center For Research,Development and Studies). 

Saat itu, para pemuda dan pemudi Bandung telah membentuk “benteng-benteng” pertahanan dan sejumlah barikade di seluruh kota, terutama pada garis demarkasi yang melintas dari arah barat ke timur, membagi Bandung menjadi dua daerah ; Bandung Utara yang diduduki serdadu Inggris, Gurka,dan Belanda serta Bandung Selatan yang masih dikuasai rakyat.

Pertempuran yang semakin ganas membuat instruksi dari Jakarta turun untuk meminta pasukan Bandung mundur 11 kilometer dari kota. Tak lama, surat kabar Tjahaja pun harus pindah ke Ciparay.

Tulisan pertama yang dibuat adalah tentang pertempuran yang terjadi di sepanjang jalan Braga.  Kasus Bandung Lautan Api menarik hati saya untuk menuangkannya ke dalam tulisan, antara lain karena pengungsi yang melahirkan di jalan, warga yang sakit dan udzur terpaksa digendong dan berbagai hal lain yang benar-benar membuat kita hanyut dalam suasana[4].

Di Ciparay didirikan tempat pengungsian bagi para korban sepanjang Bojong Malaka dan sekitarnya. Di samping meliput, Djoen masih harus membuka dapur umum PPI bekerjasama dengan Laskar Wanita Indonesia (Laswi) serta mengurus Koperasi Priangan pimpinan Niti Sumantri dan Arbin Dungga.

“Bahkan seringkali kami harus mengambil mayat-mayat dari lokasi pertempuran. Ada yang lebih penting untuk dilakukan ketimbang menghiraukan rasa takut"[5]. 

Masa transisi Tjahaja di Ciparay bukan berarti dilewati tanpa hambatan. Kala itu  para wartawan Tjahaja harus membuat berita di gubuk bambu. Mesin cetak mereka pun berada di Cibantar karena sempat dibawa ‘mengungsi’ ke penjara Sukamiskin. Di situlah kemudian hati Djoen tertambat pada sesosok pemuda nekat yang berupaya memboyong mesin tik yang tertinggal di lokasi pertempuran ke Ciparay. Pemuda yang kelak menjadi kakekku.

Surat Kabar Tjahaja tertulis tanggal 24 Shichigatsu 2604 atau sama dengan 24 Juli 1944.  Tjahaja lahir dari peleburan sejumlah surat kabar yang ada di Bandung oleh pemerintah Jepang dengan tujuan pengawasan.

 (Sumber:  https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_surat_kabar_Indonesia#Lima_Periode_Surat_Kabar_Indonesia, diakses 25-3-2016). 

Setelah Ciparay dibombardir bom mortir yang sekaligus juga menewaskan rekan seperjuangan Djoen, Tjahaja—begitu pula markas PPI dan dan Koperasi Priangan—berpindah ke Tasikmalaya. Pasca berpindah, Tjahaja berubah nama menjadi Soeara Merdeka (setelah di Ciparay berganti menjadi Perdjoangan Kita namun tak berlangsung lama). Ia beserta rekan-rekannya, Sarbini dan Artati Sudirja melanjutkan aktivitas peliputannya di sana sembari mengirim berita untuk radio-radio perjuangan.
Dalam suasana peperangan dan pengungsian , para wartawan dan wartawati berjuang dengan lebih mengandalkan kekuatan kalimat. Untuk itu, segala resiko pun mesti siap ditangung, seperti berlarian di tengah desing peluru untuk mencari bahan berita bahkan sampai tertidur di atas meja percetakan. Di saat-saat seperti itu, yang dalam benak hanyalah mepertahankan kemerdekaan atau mati syahid. [6]
***
Meski tinggal satu atap sejak kecil dengan nenek, namun memoriku terhadapnya terbatas pada masa-masa ketika ia duduk menghadap meskin tik tiap malam, menuliskan apa saja yang mengganggu pikirannya. Ketika itu aku tak tahu apa yang ia perjuangan dan curahkan ke dalam kertas yang belakangan kuketahui, kebanyakan mengenai wanita dan pemberdayaan masyarakat.

Sebagai wanita, ia tidak menanggalkan kewanitaannya untuk dapat aktif berkontribusi di kehidupan bermasyarakat, justru memilih untuk mengajak perempuan lain agar dapat berjuang memberdayakan diri di tengah pergerakan zaman, menentukan keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri sehingga turut menentukan alur sejarah. Menemukan dirinya di tengah dominasi.  

Pasca karier kewartawanannya, Djoen memilih untuk terus mengurus koperasi dengan menjadi redaktur majalah Front Koperasi, mendorong wanita untuk aktif di berkecimpung di koperasi-koperasi desa.  

Kegiatan setelah itu yang kutahu hanya ketika ia kemudian mendirikan organisasi wanita eks-pejuang mantan anggota Laswi, Perindo Putri, dan laskar wanita lainnya, yakni Wirawati Catur Panca, serta panti asuhan bagi anak-anak terlantar pada masa Revolusi Nasional Indonesia, Tambatan Hati. Hari-hari beliau adalah hilir mudik menghadiri rapat dari kota ke kota, seolah tak ingin membuang barang satu jam nafasnya dengan sia-sia bahkan hingga usianya meginjak kepala sembilan.

Di mataku, nenek yang perawakannya cenderung mungil dan lincah nampak seperti kijang betina dengan luapan energi melimpah.


Musyawarah Nasional keluarga besar Wirawati Catur Panca di Jakarta, 14-16 November 2005. Djoeningsih (tengah baju merah) kala itu berusia 84 tahun. (dok.pribadi)

***
Kini, 40 hari berlalu sejak beliau menghembuskan nafas terakhirnya, dan aku mungkin tak akan melihat sejarah Bandung Lautan Api dengan cara yang sama lagi, mengingat pernah ada sosok-sosok yang begitu habis-habisan mempertahankan kedaulatan kota-nya, dan hal ini mengusikku yang tengah duduk mengetik di kursi nyaman dengan secangkir kopi, tidak berbuat apa-apa selain berupaya menyelesaikan kuliah.

Ungkapan yang dipopulerkan Pidi Baiq, “Dan Bandung bagiku bukan Cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi,” mungkin mulai masuk akal bagiku yang belakangan mulai merasa jengah dengan kota yang semakin riuh ini. Hatiku yang selalu berkeinginan meninggalkan Bandung suatu saat nanti mungkin kini perlahan mulai menemukan alasan untuk tinggal. Entahlah, mungkin untuk “balas budi” setelah kupakai hidup selama 23 tahun. Aku merasa telah membuat jasa para pejuang seolah taken for granted dengan sekedar hidup tenang di atas tanah yang pernah diperjuangkan sedemikian heroik, tak ubahnya lintah gemuk yang tengah kenyang untuk kemudian lepas, berdiam diri dan pergi mencari inang baru.

Setidaknya, kini aku tahu kalau ia telah meninggal dalam damai setelah menjalani hidup dengan puas.  

…sambil meminum siropnya, ibu yang lahir pada 23 September 1921 dan sekarang tinggal di Bandung itu mengatakan bahwa hidupnya kini sangat bahagia. [7]



Djoeningsih berpose di sela perjalanan laut dari Batam menuju Singapura. (dok.pribadi)




[1] Uwa adalah sebutan dalam bahasa Sunda untuk kakak dari orang tua kita.
[2] Kartini nomor 577, 5-14 April 1996.,55
[3] “Menghabiskan Masa Muda Demi Merah Putih,” nama surat kabar tak tercantum.
[4] Wawancara dengan Pikiran Rakyat 23 November ‘95 : “Wanita Kini Menjadi Komoditi dan Bisnis Pria”
[5] Kartini, Op.Cit.,56
[6] Pikiran Rakyat, Op.Cit.
[7] “Meliput Bandung Lautan Api di antara Desing Peluru”, Buana Minggu 11 April 1982



No comments:

Post a Comment

Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...