Thursday 24 October 2013

The Wolves (Act I And II)

Someday my pain, someday my pain
Will mark you
Harness your blame, harness your blame
And walk through

With the wild wolves around you
In the morning, I'll call you
Send it farther on

Solace my game, solace my game
It stars you
Swing wide your crane, swing wide your crane
And run me through

And the story's all over you
In the morning i'll call you
Can't you find a clue when your eyes are all painted Sinatra blue

What might have been lost -
Don't bother me

-Justin Vernon


Friday 26 July 2013

Mari Berburu Harta Karun di "Harta Kar(uh)un" !

Membeli barang lama kadang lebih seru dan  berharga dibanding belanja barang keluaran baru, karena barang-barang lama dijual satu paket dengan seperangkat cerita dan kenangan sang pemilik terdahulu. Siapa tahu sepatu yang kamu beli punya jalan hidup yang lebih berliku dan mengharu-biru dibanding kisah cintamu. Ah, mereka siap kau buru!



Sila mampir ke Ir.H.Juanda No 276 Bandung (sebrang Salon Seruni) jam 11 siang hingga 7 malam. Bawa serta kakak adik pacar tetangga saudara dan orangtuamu, ada takjil gratis menunggu! :D 


Friday 19 July 2013

Kisah Sepanjang Jalan

Coba sejenak kamu bayangkan.

Ketika sedang berada dalam perjalanan ke tempat kerja atau ke manapun menggunakan kendaraan umum, kamu tiba-tiba saja disesatkan oleh sang supir untuk tidak bisa sampai ke tujuan. Tiba-tiba angkot yang kamu tumpangi berbelok arah ke jalan kecil, teruuus...hingga kamu tidak bisa ingat lagi dimana arah asalmu. Beberapa penumpang di sekelilingmu mulai terlihat gusar, cemas melirik jam. Namun anehnya, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari masing-masing kalian untuk sekedar bertanya,

"ini angkot mau kemana?"

Kamu duduk di bangku paling sudut dengan punggung yang merosot. Mengamati setiap gerak-gerik penumpang lain, yang, entah mengapa, mulai terlihat menikmati perjalanan. Meskipun tidak ada yang tahu ke mana sebenarnya kendaraan itu mengarah. Dan kelihatannya, tak ada yang berusaha untuk mengetahuinya pun. 

Angkotmu terus melesat di jalanan sepi. Pemandangan di kiri-kananmu makin terlihat asing. Pohon-pohon terlihat saling bersandar, rantingnya yang bercabang melambai-lambai.

"Hai! Selamat jalan!" pekik sebatang pohon yang terlihat paling muda di antara kawanannya.

Suhu udara tiba-tiba menjadi hangat. Cahaya matahari muncul dari sela rimbun daun yang bergoyang saling bergesekan. Kamu memicingkan mata terhadap silau sinarnya yang keemasan. Gerombolan capung menyanyi-nyanyi dan terbang ke sana-kemari. Beberapa di antara mereka bertubrukan dengan kupu-kupu yang baru saja terbangun dari tidurnya yang menggantung di dedaunan. Mereka bertengkar, mengeluarkan suara "ngimimyinimnyi! krrtt..krrrtt!" yang bising.

 Aneh sekali, ujarmu dalam hati.

Sang supir terus mengemudi dengan gayanya yang khas dan santai; siku kanan bertumpu pada jendela yang dibuka penuh. Seolah ia dan para penumpang kebingungannya tengah berada di jalan raya seperti biasa, tidak terjadi apa-apa. Matanya, seperti lazimnya para supir angkot, terlihat besar dan menelaah. Mencari-cari kemungkinan untuk berhenti dan mengangkut penumpang, yang akan menjelma rupiah. 

Kemudian, tanpa diduga, jendela di samping kirimu bergetar. Kamu yang tengah bersandar lantas terhentak. Begitupun jendela di sebelah kananmu, yang membangunkan seorang siswi berseragam putih abu dari kantuknya. Getaran itu terasa cukup lama, namun, kamu dan para penumpang lain tidak dapat melihat apapun di sekitar. Gelap, cahaya yang sedari tadi berhamburan tiba-tiba raib, seperti dihisap oleh kekuatan besar, entah apa. Selama beberapa detik, kamu kesulitan bernapas. Udara terasa berat dan pengap, tenggorokanmu tercekat. Lalu, tak lama kemudian...

Kamu berhadap-hadapan dengan pemandangan yang tak pernah terbayangakan akan kamu temui di tengah-tengah jadwal kuliah, di tengah padat rutinitas yang selalu memaksamu untuk mengalah. Hamparan pasir putih di sekelilingmu terlihat begitu lembut seperti serbuk susu, gradasi air laut dari tosca ke biru seketika meneduhkan matamu. Angkotmu berlayar di airnya yang tenang dan jernih, kadang terlihat berkilauan memantulkan sinar matahari. Garis horizon antara langit dan laut lebur membaur, dunia di hadapanmu nampak begitu luas dan tentramnya.

Penumpang lain mengerjap-kerjapkan matanya tidak percaya. Sebagian tersenyum dan sebagian lain tertawa.

"Ah, Pak supir bisa aja!" ujar salah satu dari mereka.

Pelayaranmu tidak memakan waktu yang lama. Sepuluh menit kemudian, pemandangan berganti menjadi hijau dan berkabut. Suhu sekitarmu berangsur-angsur menyejuk. Dingin, malah. Hei tunggu, ini bukan kabut. Ini awan! Gumpalan kapas putih bersih ini nampak jauh lebih menggiurkan dari kasur tidurmu. Kamu menyadari kedirianmu kini sepertinya lebih tinggi dari 3000 meter di atas permukaan laut. Setelah terbang menanjak, angkotmu mendarat di sebuah lapang berbatu, di titik paling tinggi. Beberapa penumpang mulai mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan pemandangan sekeliling. Si anak SMA meminta tolong pria paruh baya di sebelahnya untuk memotret dirinya berlatar awan-awan, dengan kedua tangan membentuk huruf V.

Dan sekarang dibawa summit attack naik angkot? Wow.

Entahlah. Sepertinya sang supir dengan segera dapat memahami apa-apa yang tengah berada di dalam benak penumpangnya. Sepertinya kekuatan gelombang pikiran itu ada benarnya juga. Mungkin saja masing-masing dari kami sama-sama sedang jengah dengan segala tetek-bengek kewajiban. Mungkin juga sang supir merasakan hal yang serupa. Kami sama-sama ingin kabur, untuk berlibur. Atau mungkin, mata kami sama-sama sudah terlalu sempit sudutnya sehingga bola mata tidak bisa berputar untuk memandang keadaan sekeliling yang menarik untuk disimak, karena terlalu lama menunduk terpaku pada layar kotak yang berpendaran cahaya itu. 

Agaknya kita tidak akan pernah mendapatkan pengalaman seperti itu di dunia nyata. Namun nyatanya, hal serupa masih dapat kita rasakan di sela-sela perjalanan. Kemanapun, kapanpun. Bahkan ke tempat yang paling rutin dikunjungi sekalipun. Ke kampus, ke kantor, ke bank...ah, tujuan bukan masalah. Kadangkala, perjalananmu lebih penting dari tempat yang akan dituju. It's not about the place, it's about the journey...

Untuk mengalaminya, pertama-tama kamu dapat mengganti kacamata-mu--atau bahkan bola matamu, dengan sesuatu yang baru, yang bisa membuat pengelihatanmu selalu menjelajah penasaran, sembari menelaah apa-apa yang terhampar di jalanan. Mata barumu akan mengajakmu melihat dan menyimak setiap hal kecil yang mungkin luput dari pandangan sehari-hari.

Kamu mungkin tidak menyadari, di sisi kiri jalan, ada sebuah gubuk panggung di tengah sawah yang tiap siang dihuni sejumlah orang makan-makan sambil berbincang di serambi sementara angin menidur-lelapkan anak laki-laki yang paling kecil, bila selama ini matamu tunduk lurus menghadap layar kotak yang kelap-kelip dalam genggaman selama perjalanan. Sekelilingmu tumbuh besar bersamamu. Pun anak laki-laki yang tengah tidur lelap itu. Di tahun pertama kuliahmu, ia bisa jadi merupakan seorang bocah yang kutu rambutnya masih suka ditindas oleh jari-jemari sang ibu, dan di tahun ketiga, ia sudah berseragam putih-merah; melintasi pematang untuk pergi bersekolah. Ada sebuah cerita baru di tengah rutinitasmu.

Aku sering memilih untuk menenggelamkan diri dengan pikiran melayang-layang seperti itu sepanjang jalan. Jeleknya, kadang aku turun lebih jauh dari tempat tujuan awal karena keasyikan. Jeleknya lagi, mungkin hal seperti ini membuat kesigapanmu berkurang karena dualisme kesadaran, alias jadi gampang kecopetan.

Tapi  merangkai cerita sendiri dari balik jendela kendaraan umum sebelum sampai di tempat tujuan akan membuatmu senantiasa memiliki pengalaman baru setiap hari. Tinggal pilih saja, mau menjadi apa dan mengamati siapa hari itu. Mengganti posisi menjadi seekor semut, misalnya. Itu juga menyenangkan, kok.

Maka aku tak heran ketika ada seorang wanita yang rela menukar jam keberangkatan demi duduk di samping jendela saat memesan kursi travel kala itu. Ia duduk di depanku kemudian. Sepertinya, ada sepenggal kisah yang setia menantinya dari suatu sudut jalan.







Sunday 9 June 2013

Balada Hujan di Bulan Juni




Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskanya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

--Sapardi Djoko Damono

***


“Sudah berapa lama kamu suka sama dia?”

“Entahlah. Kau coba hitung saja sendiri”

“Hahaha, aku kasihan sama kamu sebenarnya, Hujan. Kenapa mesti dia, sih? Toh masih banyak yang ngantri nungguin kamu selain dia.”

“Sok tahu kamu, Awan! Namanya perasaan, siapa yang bisa tahu, sih?”

"Iya juga…tapi kenapa kamu pilih Juni, di antara November, Desember, Januari…kan mereka cantik-cantik. Desember punya banyak lampu kelap-kelip tiap tanggal 25, Januari juga. Di hari pertama aja, langit dia buat terang meletup-letup,”

“Yah…semua juga tahu itu. Kalau kamu maksa, ya paling aku cuma bisa jawab, Juni itu istimewa tapi sederhana. Nggak banyak ornamen, nggak ada pesta. Tanggal merah aja absen dari daftar hari miliknya. Tapi coba kamu lihat, semua orang menunggu Juni. Keluarga bepergian di bulan Juni, karena nggak perlu aku buat repot sampai basah. Anak-anak yang capek sekolah bisa ke pantai di bulan Juni, karena cuaca cerah dan terang. Orangtua bisa bersantai di teras sambil ngopi siang-siang.”

“Alah, aku tahu kamu cemburu sama Matahari”

“Enggak kok! Justru aku bangga melihatnya begitu. Juni selalu ditandai orang untuk bersenang-senang. Biarin dia begitu. Dia memang selalu ingin menyenangkan semua orang. Cocok sama Matahari. Dia hangat, ceria, nggak kayak aku. Aku rela Juni dipsangkan sama Matahari.”

“Hah, klise kamu! Emang sih banyak orang yang bilang, cinta nggak harus memiliki. Something better left unsaid, bla bla bla…tapi apa kamu tahan? Coba lihat sekarang, lihat orang-orang yang kamu bela! Orang-orang yang demi mereka, kamu rela nahan-nahan perasaan. Mereka juga nggak peduli sama kamu, sama kita. Mereka semena-mena make yang namanya teknologi. Yang penting hidup mereka jadi gampang. Tapi kita-kita juga jadinya yang capek ngurusin mereka. Lihat sekarang, tinggal berapa teman kita yang masih rela kerepotan nemenin Bumi? Sisanya udah nggak sanggup! Kamu masih mau ngalah demi orang-orang itu?”

(Hujan terdiam)

“Lagian, emangnya kamu yakin Juni nggak capek senyam-senyum kegerahan di depan orang-orang? Emangnya kamu tahu, perasaan Juni sebenarnya gimana?? Nggak ada yang pernah tahu kalo nggak ada yang mau mulai!”

(Hujan masih terdiam)

(Awan menarik nafas panjang)


*** 


“Bu, ayo Bu, Ayah kan janji kalo aku libur kita ke Dufan!”

“Iya, sayang…Ibu juga pengen kok main sama Rani sama Kak Lia”

“Yaudah Buuuuuu ayo pergiii! Ayah mana??”

“Ayah belum pulang, Ran..katanya masih di kantor nungguin hujan. Di jalan kan banjir, kasian kalo Ayah sampai mogok mobilnya. Rani nggak kasian emangnya, sama Ayah?”

“Ah Ibu juga nggak kasian sama Rani! Ngeseliin!!”


***

“Masih hujan aja nih udah musim libur begini…cabut ajalah,yuk? Santai , lah. Nggak bakal kenapa-kenapa kalo yakin mah”

“Yeuu muncak jangan disamain kayak ngapelin cewek, bego! Dikira itu tanah nggak bakal licin nggak bakal longsor apa, hujan angin gini? Kalo ampe ada bencana, emangnya ada yang mau tanggung jawab?”

“Iya..ngeri juga sih ya…diundur aja lah, ya? Kita kemana kek sekarang mah, yang deket-deket aja..”


***

"Padahal harusnya Juni itu musim panas, ya, Yah? Malah hujan terus…jemuran kan jadi susah kering. Baju Mama bau lembab melulu."

"Iya, emang begini keadaannya sekarang, Mah. Musim udah nggak karu-karuan. Tapi toh, enak kan Mah, tiap hari adem terus?”

“Ih!”
***


“Hujan, ya. Juni sekarang hujan. Menurutmu kenapa?”

“Hmm…kamu masih ingat puisi hujan yang bijak? Judulnya apa?”

“Ingat. Hujan Bulan Juni. Kamu yang kasih linknya ke aku waktu itu"

“Iya. Hujan nggak mungkin turun di musim panas, tapi buktinya sekarang dia berani”

“Terus?”

“Itu tandanya, hari ini ada sesuatu yang sudah terlampau lama menahan rasa. Ada yang sudah terlalu sabar menyimpan rahasia. Ada yang sudah lelah untuk mengalah. Pada akhirnya, ia akan pecah, membuncah, bikin semua jadi ikut-ikutan basah. Tapi, dia nggak salah. Karena kearifan sudah menjadi nama tengahnya untuk sekian lama.”

“Lalu, sekarang kita harus gimana?”

“Yah, nikmati saja.”

What makes you happy?




Tidak sukar untuk merumus bahagia, karena ia akan mewujud dalam hal-hal biasa yang bisa kau jumpai setiap harinya. 

Di hari itu aku berpapasan dengannya dalam bentuk yang hangat menguning, tidak jauh dari rumah. Ia menyapaku dengan santai; sebagai senja, kudapan, serangkaian tawa, dan segelas es coklat yang akan dengan segera menerbitkan rasa lega di kerongkongan keringmu. 

Sesederhana itu.


Ode Untuk Senin


Ketika berbenah kamar, saya tiba-tiba teringat sebuah kotak sepatu yang dulu dibungkus dengan kertas polkadot berwarna biru. Tangan saya merogoh rak buku yang isinya sudah tak keruan, dan kotak tersebut masih di sana, dengan debu menggantung di sisi bawahnya. Kotak tersebut saya gunakan untuk menaruh CD; Album musik, CD instalasi software, hingga CD-CD pas foto dan foto studio ternyata menumpuk di dalamnya. Saya memilah isinya, dan saya menemukan sebuah CD bersampul coklat dengan title “Monday Mix” di depannya.



“Banyak orang yang bilang benci hari Senin, I Hate Monday lah, Everyday’s Sunday lah, dan jadi males kerja ketika Senin datang. Emangnya kenapa sih? Gue harap lo nggak berpikiran sama.Denger aja ini tiap Senin”


Kurang lebih begitu isi pesan dari seorang teman saya ketika memberi saya mixtape ini. Niat abis, pikir saya ketika itu. Tapi benar juga, sih. Dosa apa Senin, hingga harus disumpah-serapahi orang sedunia, disebut-sebut dalam berbagai percakapan dengan nada yang mengeluh, diberikan cap dan terminologi sebagai hari yang dibenci. Yang dimaki sebenarnya kenyataan bahwa kita harus kembali menjumpai rutinitas yang kemungkinan besar tidak disukai. Dengan menumbalkan hari. Dengan menyalahkan Senin.

Senin berdiri sebagai sosok yang interpretatif, di tengah stigmanya sebagai hari ‘pembawa sibuk’, sebagian orang ternyata memiliki kesan berlainan. Setidaknya itu yang saya dapat setelah mendengarkan kembali setiap lagu dalam mixtape ini. 

The Innocence Mission – The Happy Monday
Mendengar The Innocence Mission hampir selalu seperti mendengar sepasang orangtua yang meninaboboi anaknya. Vokal Karen Peris memang nyaris 'tanpa dosa'. Lembut Mengawang. Dan kali ini ia menghadirkan Senin dengan manis. "The happy Mondays, we blow down alleyways in our raincoat in afternoons..."

Fats Domino – Blue Monday
Senin kembali pada tuduhannya yang melelahkan. Dalam irama blues yang ritmis, ia dilantunkan sebagai hari yang mengharuskan seseorang untuk kerja, kerja, dan kerja seharian. "...But then, it's a hard workin day, but i gotta get my pay." Well you are hated and wanted at the same time, dear Monday. 

The Mamas & The Papas – Monday Monday
Senin bisa datang dan pergi dengan harapan yang tidak pasti. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi hari itu. Bisa saja kamu bahagia di Senin pagi. Tapi, di penghujung hari, Senin pergi dengan membawa serta keriaan yang kamu impikan. "Oh Monday, Monday, how could you leave and not take me?"

The Carpenters – Rainy Days and Mondays
Hari dengan hujan di dalamnya sama saja dengan hari Senin. Membuatmu murung. Apalagi bila disertai lantunan musik ballad nan minor, dengan vokal khas Karen Carpenter yang sederhana dan selalu 'ngena'. "Rainy days and Mondays always get me down..."  

John Prine- Long Monday
Track ini adalah favorit saya. Kebersahajaan vokal John Prine dalam nuansa folk akustik dan alt-country sedikit banyak mengingatkan saya pada sosok Bob Dylan. Lagu ini agaknya menggambarkan sebuah kerinduan tak bertepi, dua puluh empat jam per tujuh hari. Senin mewujud rentang waktu yang menjauhkan ia dengan yang dinanti. Dalam Senin ia memutar kembali kebersamaan kemarin hari, yang akan dijumpainya seminggu lagi. "Now, come on baby, give me a kiss that'll last all week."

Wilco – Monday
Inferiorisme kadang mengawali sesuatu untuk terlampiaskan dalam jalur yang tidak semestinya. Memberontak, mungkin. Bisa jadi Senin memang melambangkan segala awal rutin kesibukan, Senin adalah yang paling memiliki hubungan dekat dengan "kelas" dan "sekolah", bila memang harus dipaksakan konteksnya. Nuansa indie alt-rock semakin membuat Wilco dapat mengkhianati keberadaan Senin yang mengganjal dengan lantang. "Monday, I'm all high. Get me out of TLA. Well, i cut class in school, yeah."

God Help The Girl- Come Monday Night
Sepertinya anggapan akan Senin sebagai hari penghadir lelah memang sudah menempel di benak banyak orang. Senin malam, lekas datang. Malam akan segera menenggelamkan kamu, wahai hari penuh kerjaan. The day of work is done. Dalam twee-pop yang manis dan santai, lagu ini sepertinya memang cocok disenandungkan sepulang berkegiatan. "Then you would sleep much better, baby you would sleep much better..." 

Tegan and Sara – Monday Monday Monday
Senin mungkin menjadi titik awal masalah bermula. Di hari itu, aku memutuskan tidak lagi peduli dan, pergi saja, wahai kamu dan mood turun naikmu. Ketidakpedulian yang disampaikan dengan penuh rasa peduli. "Oh, and I? I say, damn your moodswing"

The Saturday Guy – Frozen Monday
Si pria hari Sabtu meragu atas lingkung persekitarannya yang berubah dan nampak tak berkesudahan. Semua berujung pada hal yang lagi-lagi sama. Di sore hari, dengan udara yang bisu, Senin ikut membeku. "Everywhere I look, it ends the same..."

Flunk – Blue Monday
Menerka memang seringkali menggiringmu pada kebimbangan. Tentang apa yang ia pikirkan. Tentang apa yang kita pikirkan. Tentang apa yang ia ingin kita lakukan. Tentang teka-teki rasa yang akhirnya hanya menyembulkan luka. Dan kesemuanya meretas dalam Senin yang membiru. "Treat me like you do..." 

Percakapan Meja Makan





A  : "Tadi siang Ayah sudah coba datang ke rumahnya, Bu. Katanya dia nggak ada di rumah. Anak perempuannya yang bukain pintu."
A  : "Tapi Ayah yakin dia nggak kemana-mana. Mobilnya aja ada di garasi."
I  : "Ya mungkin dia pergi dijemput temannya, Yah. Lagian Ayah masih mau coba pinjam ke dia? Kemarin aja rumah kita didatengin preman kekar kayak gitu. Ibu ngeri, Yah. Untung uangnya sudah ada."
A  : "Iya...Ayah juga takut sebenarnya. Tapi mau gimana, semua juga pinjam ke dia. Bunganya nggak sebesar di bank."
I  : "Udahlah, Yah. Kalau untuk biaya Nana, Ibu bisa mulai bisnis kue lagi. Siapa tahu bisa bantu."
A  : "Gimana caranya, Bu...Nana kan mesti dirujuk ke luar. Mahal. Dokter sini udah angkat tangan. Ibu tahu sendiri."
I  : " Ya sudah, Yah. Ibu percaya sama Ayah."

***

A : " Dia ngasih tenggat waktu satu minggu, Bu. Rabu depan sudah harus lunas."
I  :  (tersenyum) "Makan sayurnya, Yah."
A  :  "Ibu tenang aja. Ayah bisa lembur buat nambahin. Berdoa aja ya, Bu."


***
(suara bel pintu)
(pintu dibuka)

I  : "Siang, Tapi Pak Komarnya belum pulang..."
I  : "Pak...?!"
***

A  : "Tadi siang Ayah sudah coba datang ke rumahnya, Bu. Katanya dia nggak ada di rumah. Anak perempuannya yang bukain pintu."
A  : "Tapi Ayah yakin dia nggak kemana-mana. Mobilnya aja ada di garasi."
A  :  "Anaknya sengaja ngumpet-ngumpetin, tuh. Gak ngerti orang lagi butuh."
A  :  " Besok Ayah ke sana lagi ya, Bu? Bilang aja kali ini nggak bakal pake nyicil. Ayah bisa jamin lunas tunai sebelum jatuh tempo."
A  :  " Tambah lagi, Bu, tahunya. Mbok Nah masaknya enak hari ini. Tahu panas sambel kecapnya Nana, nih. Kesukaan Ibu juga, kan?"
A  :  " Nggak usah takut, Bu. Yang penting Nana bisa kumpul di sini lagi. Uang biar Ayah yang cari. Uang bisa dicari. Mereka nggak akan datang lagi, Bu. Mereka nggak akan ganggu lagi."
A  : " Sini, biar Ayah cuci. Ibu istrirahat aja."

Sang Ayah beranjak ke dapur untuk mencuci perkakas makan. Dibukanya kran yang mengalirkan air dingin. Ia mencelupkan spons cuci ke wadah sabun piring. Perlahan ia cuci satu piring dan sepasang sendok garpu yang terlumuri sambal kecap dan remah nasi serta satu piring dengan sepasang sendok garpu lainnya yang masih kesat. Bersih tak terpakai. 

Saturday 9 February 2013

Menjemput Pagi


“A morning person is someone who generally feels at his or her best during the hours before noon. Many morning people feel energized after a full night's sleep and can shake what few cobwebs remain by taking a bracing morning shower. They often find the early hours are also ideal for taking care of routine matters…” ( Via Wisegeek.com)

Pagi itu magical. Kita bisa meluangkan waktu untuk berkegiatan lebih banyak dengan bangun lebih awal. Memang seringkali malas rasanya, apalagi bila semalam kurang tidur. Para bantal dan selimut tidak akan semudah itu membiarkanmu angkat kaki menuju kamar mandi untuk memulai hari. Enak memang, mengulur waktu untuk sekedar berleyeh-leyeh hingga akhirnya tertidur kembali. Saya kerap melakukan hal yang sama, namun juga sering menyesal dan nyesek ketika bangun dan melirik jam.

Hah! Harusnya sekarang udah mandi, udah siap-siap pergi…harusnya sekarang udah sarapan sambil nerusin tugas kemaren…harusnya tadi ga usah tidur lagi…harusnya…harusnya…

***
Jendela kamar saya terbilang besar, tepat berada di belakang kepala tempat tidur. Cahaya matahari bisa sesukanya menerobos masuk ke ruangan kapan saja selama tidak ada kerumunan awan yang menghalangi. Belum lagi langit-langit kamar yang diberi jendela cahaya, yang juga berada tepat menghadap tempat tidur. Siang sedikit, silaunya bukan main. Bukan lagi alarm yang membangunkan saya bila siang menjelang. Matahari seolah memiliki tugas sampingan untuk membuat gerah si malas untuk segera beranjak dari kasurnya yang mungkin juga mulai kepanasan.

 “Bangun kamu! Saya aja udah kerja dari subuh, kamu ngapain aja di sana, hah?” pekik Matahari nun jauh di atas sana.

“Santai aja kali woy! Emang kerjaan kamu mulainya dari jam segitu! Ngurusin amat anak orang!” si malas balik menggerutu.

Ia kembali membenamkan wajahnya pada bantal yang terasa tidak senyaman sebelumnya, sebab ia teringat akan berbagai hal yang seharusnya sudah selesai dikerjakan saat itu…

***
Saya menghubungi seorang teman untuk berangkat ke suatu tempat di bilangan Dago Pakar pukul 5 pagi tepat. Sekitar pukul lima kurang, ia datang. Kami kemudian langsung meluncur di jalanan sepi, sebagian besar toko dan rumah masih tertidur nyenyak. Dua cangkir kopi instan tidak lupa kami beli di salah satu gerai 24 jam, untuk diseruput sambil duduk menunggu si Matahari yang sedang bersiap-siap muncul, dan kembali bekerja hingga petang. Haha, saya lebih dulu kali ini, tuan.

Sepanjang jalan, saya mengamati Matahari yang nampak masih malas menyapa semesta alam di antara kabut Bandung yang membuai. Sosoknya menggeliat dari balik gunung, berselimut awan. Apa kira-kira yang akan ia katakan ketika melihat si malas saat ini sudah memandanginya dari bukit, menyeruput kopi hangat sambil bersenandung?

"Hai. Apa aku membangunkanmu dari tidur?"

Ssst..tidur saja lagi, nona. 













Bingo! Kamu masih sembunyi di balik gunung













Nah, selamat pagi, tuan Matahari!
























Saya menyapanya dengan terkekeh. Ia tidak mengacuhkan, seolah tidak pernah ada saya di sana. Beberapa saat kemudian, hangat mulai merayap ke sekujur tubuh saya, sementara sisa kopi tadi berangsur kehilangan nikmatnya, dingin. Sinarnya menerpa semak dan pepohonan yang jadi terlihat berkilauan karena sisa embun yang masih menempel. Juga menerpa rambut saya, yang jadi terlihat kemerahan karena kurang terawat. Huh. 

Kami sejenak berbincang, bertiga. Matahari menantang kami untuk terus menjemputnya setiap hari, dari mana saja. Dari kamar, dari kampus, dari jalanan, atau dari tempat-tempat tinggi lainnya agar ia bisa sambil mengobrol ringan tentang apapun, sebelum mulai kembali bekerja. Tentang celoteh manusia yang kepanasan di siang hari, namun juga tidak rela jemurannya tidak kering bila Matahari memilih mengalah pada awan. Tentang para pencinta sajak yang kerap duduk dengan pandangan mengawang di sore hari, berusaha merumus senja jadi puisi. Tentang tempat persembunyiannya ketika Bulan sedang berjaga, tentang hujan tiba-tiba yang memunculkan Pelangi, dan banyak lagi...

Saya kemudian berusaha untuk selalu bangun lebih awal dari biasanya, agar tidak lagi dibangunkan Matahari.  Tugasnya sudah banyak, lebih baik saya menjemputnya dari jendela kamar. Mengajaknya berbincang dengan secangkir kopi dan roti bakar.
***
Hari-hari berlalu, dan apa yang orang bilang sebagai "Morning Person" ternyata cukup menggambarkan saya setelah perbincangan pertama dengan si Matahari. Membuka jendela, membiarkannya menerobos masuk, menghirup udara sebelum tercemar asap kendaraan, membuat sarapan, dan sejenak berpikir tentang apa saja yang akan saya kerjakan hari itu. Tugas-tugas pun jadi memiliki injury time untuk diselesaikan sebelum tenggat waktu yang ditetapkan. Kadang, saya menyempatkan diri untuk menyapa Matahari dari track lari. Namun, ia juga kerap merasa dicurangi ketika saya akhirnya terlelap pada dini hari dengan layar notebook yang menyala, dan kertas yang berserakan. Biasanya ia akan kembali membangunkan saya. 

***
"Heh kamu! Bangun! Saya udah kerja dari tadi! Ngapain aja kamu di sana, hah?!" 

Tidak kah kamu mendengarnya? Coba saja buka jendela, mungkin ia punya cerita...

Sumedang dan Seni Sunda; Sebuah Koma

Sore itu, matahari tidak tampak. Awan kelabu masih menyelimuti langit Jatinangor, dengan basah sisa hujan yang menyeruakkan bau tanah. Ringkikan kuda sesekali terdengar, beradu dengan deru mesin motor yang lalu-lalang. Sebuah istal kuda berdiri di sudut pekarangan rumah itu, rumah sederhana yang masih mempertahankan bentuk bangunan tua yang bersahaja. Kolam ikan dengan air mancur disulap menjadi rumah berbagai kembang pot di sisi taman. Sejuk dan tenang, itulah kesan ketika menapakkan kaki di sebuah rumah di bilangan Sayang, Jatinangor, yang digunakan sebagai ‘kandang’ berkesenian bagi warga Jatinangor khususnya, dan Sumedang pada umumnya. Sebuah papan putih terpampang di bagian depan rumah, bertuliskan “Sanggar Motekar”.

“Silahkan masuk” ujar ibu paruh baya dengan stelan daster dan rambut pendek yang sudah memutih. Setelah bertanya pada seorang pemuda yang menjaga warung di halaman sanggar, kami dipertemukan dengan ibu pemilik rumah dan sanggar tersebut. Ruang tamunya sederhana dan temaram. Foto-foto keluarga dipajang di dinding, yang membuat kami langsung tahu bahwa ibu tersebut memiliki dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. “Bapak sudah nggak ada, ibu nggak bisa bicara panjang lebar tentang sanggar. Takutnya salah,” ujarnya seraya tersenyum.

Adalah alm. Supriatna, sang bapak pemilik Sanggar Motekar, yang juga merupakan mantan kepala sekolah SD Jatinangor. Ia mulai berkesenian sejak tahun 1980, bermula dari membina anak-anak untuk mempersiapkan penampilan di hari-hari besar, seperti pada 17 Agustusan, ia mempersiapkan acara dan perlombaan. Ia pada awalnya adalah guru olahraga, namun kecintaannya pada seni membuatnya tetap terus menggiati beragam jenis kesenian tradisional, khusunya kesenian-kesenian Sunda. Sanggar yang didirikannya di tahun 2002 ini diniatkan sebagai sebuah rumah penampung kegiatan-kegiatan seni tradisional Sunda di kalangan masyarakat Jatinangor dan Sumedang, mulai dari karawitan, kuda renggong, tari-tarian, pencak silat, sastra, teater, hingga pendokumentasian budaya Sunda. Ia juga pernah mecipta lagu-lagu yang sudah dialbumkan, kebanyakan isinya bertemakan Jatinangor.

Sanggar ini memiliki jadwal berkesenian setiap harinya. Kebanyakan peserta kegiatan adalah anak-anak SD dan SMP di Jatinangor. Masing-masing cabang seni ‘dipegang kendali’ olehnya. Kecuali kuda renggong, Aki Ali adalah ahilnya. Ia yang melatih dua ekor kuda miliknya untuk menjadi Kuda Renggong yang baik. Supriatna sangat memahami seluk beluk kesenian Sunda, sehingga ia yang mengonsep dan mengarahkan setiap kegiatan seni di sanggar ini. Selain dari kegiatan-kegiatan seni tersebut, sanggar ini juga fokus terhadap kegiatan pendokumentasian artefak-artefak seni Sunda di Jatinangor. Ada pula beberapa mahasiswa yang kerap datang dan membantu dokumentasi dan juga riset fakta dan data mengenai kesenian tradisional Jatinangor yang hampir punah.
Aki Ali dan salah satu kudanya


Di samping rumah, terdapat sebuah panggung kecil yang dibangun dengan batu bata dan semen tanpa dilapis cat. Panggung tersebut berundak, tersusun dari bata dan dasarnya terbuat dari plesteran semen. Tempat ini adalah panggung teater mereka, terutama untuk perayaan Bulan Tok. Bulan Tok adalah sebuah pagelaran seni untuk merayakan purnama bulan. Setiap tanggal 14 kalender Islam, sanggar membuat sebuah pagelaran seni yang dilakoni oleh anak-anak yang mengikuti kegiatan sanggar secara rutin. Menurut ibu, perhitungan menggunakan kalender islam karena bulan purnama akan pas jatuh di tanggal 14, sedangkan menurut perhitungan masehi tidak seperti itu.

Panggung kesenian Sanggar Motekar

Bulan Tok berisikan pementasan drama anak, seperti Si Kabayan, tari-tarian, gamelan, dan semua kegiatan seni yang dimiliki sanggar. Setiap pagelaran seantiasa ramai dikunjungi masyarakat, tidak pernah sepi. Masyarakat sekitar selalu haus akan hiburan. Pernah kala itu, perayaan Bulan Tok dikunjungi oleh turis asing. Perayaan ini merupakan salah satu daya tarik wisata yang dimiliki Sanggar Motekar, dan juga Jatinangor.
Pemegang kesenian kuda renggong adalah Aki Ali. Ia merupakan pewaris ilmu kuda renggong satu-satunya di Sumedang, bahkan Indonesia. Ia adalah generasi terakhir dari para pelakon renggong. Aki Ali, yang sudah akrab dengan kuda sejak anak-anak, sangat mencintai kuda, bahkan melebihi dirinya. “Aki mah gelisah kalau kuda nggak ada pakan, kalau aki gak ada nasi gak masalah,”ujarnya. Pria kelahiran 1942 itu memiliki kemampuan membaca karakter kuda lewat ilmu tersendiri. Menurutnya, bila ingin mendalami renggong, jangan cepat puas bila sudah membuat kuda sedikit berjingkrak. Kuda harus bisa menari, mengikuti ketukan irama musik. Kuda juga memiliki karakter, kita harus mengerti, jangan sampai salah paham,”tuturnya, sesekali diiringi tawa.

Sekian banyak kegiatan yang diperjuangkan Motekar demi kelestarian seni sunda tradisional, hampir seluruh dana dan logistik bersumber dari pribadi. “Bapak paling tidak mau kerjasama dengan pemerintah. Ribet, katanya. Pernah dulu ada tawaran dari Disbudpar mengajak sanggar bergabung dengan sebuah ‘kampung seni’, namun, salah satu syaratnya adalah bagi hasil dari keuntungan penjualan. Komersil, lah, neng, bapak bilang lebih baik begini saja, sanggar kita tetap berdiri sendiri. ” tutur wanita yang kerap disapa ibu Arum ini. Diakuinya,  Disbudpar juga kerap meminta tolong dan meminta bantuan sanggar untuk hal-hal kegiatan seni, namun, tidak pernah ada timbal balik dari pihak Disbudpar. Malah, mereka mengatakan bahwa  Sanggar Motekar belum terdaftar. Maka dari itu, Supriatna memilih untuk tetap mengelola sanggarnya secara mandiri. Seluruh kegiatan seni di sanggar ini memang sama sekali tidak berorientasi keuntungan materi. Anak-anak yang belajar menari, karawitan, dan yang lainnya juga sama sekali tidak pernah dipungut bayaran. Semua digarapnya untuk menghindarkan seni tradisional dari kepunahan.

Supriatna juga merupakan seorang yang gemar dan giat menggeluti sastra sunda. Sudah beberapa karya penulisan yang ia buat, di antaranya sudah dibukukan dan dijual kepada masyarakat. Ia biasa menulis carpon atau cerpen untuk majalah-majalah sunda seperti Mangle dan Cupumanik. Namun, ia tidak menerima royalti atau apapun dari pihak penerbit yang sudah menjual buku-bukunya. Setelah diserahkan kepada penerbit, tidak pernah ada kelanjutan kabar mengenai buku-bukunya.

“Setelah bapak nggak ada, sanggar sepi, nggak hidup. Acara juga belum sempat ada lagi. Kemarin baru 100 harinya bapak. Orang yang kesini juga masih sebatas belasungkawa. Anak-anak yang latihan juga berkurang. Mereka dekatnya sama bapak. Ibu cuma tahu urusan dapur, ngurusin konsumsi kalau lagi ada acara. Masakin anak-anak, masakin ibu-ibu PKK, gitu aja.  Semuanya kerasa beda, neng, kalau bapak nggak ada, ” ujar wanita kelahiran 15 Juni 1955 itu.

Cita-cita yang Tertunda
Ada salah satu pekerjaan yang belum rampung dikerjakan oleh Supriatna. Ia berniat untuk menyusun sebuah ensiklopedia mengenai seluk beluk Kabupaten Sumedang. Ensiklopedia tersebut rencananya akan membahas tokoh-tokoh adat maupun tokoh-tokoh masyarakat di Sumedang, juga mengenai sejarah Sumedang, termasuk di dalamnya adalah kesenian-kesenian Sumedang. Namun, cita-cita mulia tersebut terpaksa ditunda karena kepulanganya ke pangkuan Tuhan di bulan Juni 2012.

Belum ada rencana untuk melanjutkan penyusunan ensiklopedia tersebut, mengingat belum ada penerus yang benar-benar satu tujuan dan satu idealisme dengannya. Anak perempuan keduanya, menurut Arum, adalah salah satu yang memiliki potensi untuk meneruskan penyusunan ensiklopedi tersebut, namun, anak perempuannya tersebut tinggal di Jakarta menjadi guru. Kesibukan ibu kota membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan riset-riset dan pembukuan.

Supriatna juga bercita-cita, panggung kecil di samping halaman rumahnya ingin dijadikan sebuah gedung pertunjukan sederhana, yang dapat menampung dan memelihara segala bentuk kesenian Jatinangor dan Sumedang. Mimpi dan ambisinya untuk terus melestarikan dan mewariskan budaya sunda Jatinangor dan Sumedang akan senantiasa dikenang oleh masyarakat lewat karya-karyanya.

Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...