Saturday 9 February 2013

Sumedang dan Seni Sunda; Sebuah Koma

Sore itu, matahari tidak tampak. Awan kelabu masih menyelimuti langit Jatinangor, dengan basah sisa hujan yang menyeruakkan bau tanah. Ringkikan kuda sesekali terdengar, beradu dengan deru mesin motor yang lalu-lalang. Sebuah istal kuda berdiri di sudut pekarangan rumah itu, rumah sederhana yang masih mempertahankan bentuk bangunan tua yang bersahaja. Kolam ikan dengan air mancur disulap menjadi rumah berbagai kembang pot di sisi taman. Sejuk dan tenang, itulah kesan ketika menapakkan kaki di sebuah rumah di bilangan Sayang, Jatinangor, yang digunakan sebagai ‘kandang’ berkesenian bagi warga Jatinangor khususnya, dan Sumedang pada umumnya. Sebuah papan putih terpampang di bagian depan rumah, bertuliskan “Sanggar Motekar”.

“Silahkan masuk” ujar ibu paruh baya dengan stelan daster dan rambut pendek yang sudah memutih. Setelah bertanya pada seorang pemuda yang menjaga warung di halaman sanggar, kami dipertemukan dengan ibu pemilik rumah dan sanggar tersebut. Ruang tamunya sederhana dan temaram. Foto-foto keluarga dipajang di dinding, yang membuat kami langsung tahu bahwa ibu tersebut memiliki dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. “Bapak sudah nggak ada, ibu nggak bisa bicara panjang lebar tentang sanggar. Takutnya salah,” ujarnya seraya tersenyum.

Adalah alm. Supriatna, sang bapak pemilik Sanggar Motekar, yang juga merupakan mantan kepala sekolah SD Jatinangor. Ia mulai berkesenian sejak tahun 1980, bermula dari membina anak-anak untuk mempersiapkan penampilan di hari-hari besar, seperti pada 17 Agustusan, ia mempersiapkan acara dan perlombaan. Ia pada awalnya adalah guru olahraga, namun kecintaannya pada seni membuatnya tetap terus menggiati beragam jenis kesenian tradisional, khusunya kesenian-kesenian Sunda. Sanggar yang didirikannya di tahun 2002 ini diniatkan sebagai sebuah rumah penampung kegiatan-kegiatan seni tradisional Sunda di kalangan masyarakat Jatinangor dan Sumedang, mulai dari karawitan, kuda renggong, tari-tarian, pencak silat, sastra, teater, hingga pendokumentasian budaya Sunda. Ia juga pernah mecipta lagu-lagu yang sudah dialbumkan, kebanyakan isinya bertemakan Jatinangor.

Sanggar ini memiliki jadwal berkesenian setiap harinya. Kebanyakan peserta kegiatan adalah anak-anak SD dan SMP di Jatinangor. Masing-masing cabang seni ‘dipegang kendali’ olehnya. Kecuali kuda renggong, Aki Ali adalah ahilnya. Ia yang melatih dua ekor kuda miliknya untuk menjadi Kuda Renggong yang baik. Supriatna sangat memahami seluk beluk kesenian Sunda, sehingga ia yang mengonsep dan mengarahkan setiap kegiatan seni di sanggar ini. Selain dari kegiatan-kegiatan seni tersebut, sanggar ini juga fokus terhadap kegiatan pendokumentasian artefak-artefak seni Sunda di Jatinangor. Ada pula beberapa mahasiswa yang kerap datang dan membantu dokumentasi dan juga riset fakta dan data mengenai kesenian tradisional Jatinangor yang hampir punah.
Aki Ali dan salah satu kudanya


Di samping rumah, terdapat sebuah panggung kecil yang dibangun dengan batu bata dan semen tanpa dilapis cat. Panggung tersebut berundak, tersusun dari bata dan dasarnya terbuat dari plesteran semen. Tempat ini adalah panggung teater mereka, terutama untuk perayaan Bulan Tok. Bulan Tok adalah sebuah pagelaran seni untuk merayakan purnama bulan. Setiap tanggal 14 kalender Islam, sanggar membuat sebuah pagelaran seni yang dilakoni oleh anak-anak yang mengikuti kegiatan sanggar secara rutin. Menurut ibu, perhitungan menggunakan kalender islam karena bulan purnama akan pas jatuh di tanggal 14, sedangkan menurut perhitungan masehi tidak seperti itu.

Panggung kesenian Sanggar Motekar

Bulan Tok berisikan pementasan drama anak, seperti Si Kabayan, tari-tarian, gamelan, dan semua kegiatan seni yang dimiliki sanggar. Setiap pagelaran seantiasa ramai dikunjungi masyarakat, tidak pernah sepi. Masyarakat sekitar selalu haus akan hiburan. Pernah kala itu, perayaan Bulan Tok dikunjungi oleh turis asing. Perayaan ini merupakan salah satu daya tarik wisata yang dimiliki Sanggar Motekar, dan juga Jatinangor.
Pemegang kesenian kuda renggong adalah Aki Ali. Ia merupakan pewaris ilmu kuda renggong satu-satunya di Sumedang, bahkan Indonesia. Ia adalah generasi terakhir dari para pelakon renggong. Aki Ali, yang sudah akrab dengan kuda sejak anak-anak, sangat mencintai kuda, bahkan melebihi dirinya. “Aki mah gelisah kalau kuda nggak ada pakan, kalau aki gak ada nasi gak masalah,”ujarnya. Pria kelahiran 1942 itu memiliki kemampuan membaca karakter kuda lewat ilmu tersendiri. Menurutnya, bila ingin mendalami renggong, jangan cepat puas bila sudah membuat kuda sedikit berjingkrak. Kuda harus bisa menari, mengikuti ketukan irama musik. Kuda juga memiliki karakter, kita harus mengerti, jangan sampai salah paham,”tuturnya, sesekali diiringi tawa.

Sekian banyak kegiatan yang diperjuangkan Motekar demi kelestarian seni sunda tradisional, hampir seluruh dana dan logistik bersumber dari pribadi. “Bapak paling tidak mau kerjasama dengan pemerintah. Ribet, katanya. Pernah dulu ada tawaran dari Disbudpar mengajak sanggar bergabung dengan sebuah ‘kampung seni’, namun, salah satu syaratnya adalah bagi hasil dari keuntungan penjualan. Komersil, lah, neng, bapak bilang lebih baik begini saja, sanggar kita tetap berdiri sendiri. ” tutur wanita yang kerap disapa ibu Arum ini. Diakuinya,  Disbudpar juga kerap meminta tolong dan meminta bantuan sanggar untuk hal-hal kegiatan seni, namun, tidak pernah ada timbal balik dari pihak Disbudpar. Malah, mereka mengatakan bahwa  Sanggar Motekar belum terdaftar. Maka dari itu, Supriatna memilih untuk tetap mengelola sanggarnya secara mandiri. Seluruh kegiatan seni di sanggar ini memang sama sekali tidak berorientasi keuntungan materi. Anak-anak yang belajar menari, karawitan, dan yang lainnya juga sama sekali tidak pernah dipungut bayaran. Semua digarapnya untuk menghindarkan seni tradisional dari kepunahan.

Supriatna juga merupakan seorang yang gemar dan giat menggeluti sastra sunda. Sudah beberapa karya penulisan yang ia buat, di antaranya sudah dibukukan dan dijual kepada masyarakat. Ia biasa menulis carpon atau cerpen untuk majalah-majalah sunda seperti Mangle dan Cupumanik. Namun, ia tidak menerima royalti atau apapun dari pihak penerbit yang sudah menjual buku-bukunya. Setelah diserahkan kepada penerbit, tidak pernah ada kelanjutan kabar mengenai buku-bukunya.

“Setelah bapak nggak ada, sanggar sepi, nggak hidup. Acara juga belum sempat ada lagi. Kemarin baru 100 harinya bapak. Orang yang kesini juga masih sebatas belasungkawa. Anak-anak yang latihan juga berkurang. Mereka dekatnya sama bapak. Ibu cuma tahu urusan dapur, ngurusin konsumsi kalau lagi ada acara. Masakin anak-anak, masakin ibu-ibu PKK, gitu aja.  Semuanya kerasa beda, neng, kalau bapak nggak ada, ” ujar wanita kelahiran 15 Juni 1955 itu.

Cita-cita yang Tertunda
Ada salah satu pekerjaan yang belum rampung dikerjakan oleh Supriatna. Ia berniat untuk menyusun sebuah ensiklopedia mengenai seluk beluk Kabupaten Sumedang. Ensiklopedia tersebut rencananya akan membahas tokoh-tokoh adat maupun tokoh-tokoh masyarakat di Sumedang, juga mengenai sejarah Sumedang, termasuk di dalamnya adalah kesenian-kesenian Sumedang. Namun, cita-cita mulia tersebut terpaksa ditunda karena kepulanganya ke pangkuan Tuhan di bulan Juni 2012.

Belum ada rencana untuk melanjutkan penyusunan ensiklopedia tersebut, mengingat belum ada penerus yang benar-benar satu tujuan dan satu idealisme dengannya. Anak perempuan keduanya, menurut Arum, adalah salah satu yang memiliki potensi untuk meneruskan penyusunan ensiklopedi tersebut, namun, anak perempuannya tersebut tinggal di Jakarta menjadi guru. Kesibukan ibu kota membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan riset-riset dan pembukuan.

Supriatna juga bercita-cita, panggung kecil di samping halaman rumahnya ingin dijadikan sebuah gedung pertunjukan sederhana, yang dapat menampung dan memelihara segala bentuk kesenian Jatinangor dan Sumedang. Mimpi dan ambisinya untuk terus melestarikan dan mewariskan budaya sunda Jatinangor dan Sumedang akan senantiasa dikenang oleh masyarakat lewat karya-karyanya.

3 comments:

  1. Hey, tulisanmu keren! Salam buat keluarga sanggar jika kamu mampir ke sana lagi :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe trimakasih Pak Upil ;D, tp sayang, sanggarnya udah lama tutup :(

      Delete
  2. Oh, sudah tutup ya. Tadinya mah mau nyari ke sana.... Tapi Aki Ali-nya masih ada?

    ReplyDelete

Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...