“A morning person is someone who generally
feels at his or her best during the hours before noon. Many morning people feel
energized after a full night's sleep and can shake what few cobwebs remain by
taking a bracing morning shower. They often find the early hours are also ideal
for taking care of routine matters…” ( Via Wisegeek.com)
Pagi itu magical. Kita bisa meluangkan waktu
untuk berkegiatan lebih banyak dengan bangun lebih awal. Memang seringkali
malas rasanya, apalagi bila semalam kurang tidur. Para bantal dan selimut
tidak akan semudah itu membiarkanmu angkat kaki menuju kamar mandi untuk
memulai hari. Enak memang, mengulur waktu untuk sekedar berleyeh-leyeh hingga
akhirnya tertidur kembali. Saya kerap melakukan hal yang sama, namun juga
sering menyesal dan nyesek ketika bangun dan melirik jam.
Hah! Harusnya sekarang udah mandi, udah
siap-siap pergi…harusnya sekarang udah sarapan sambil nerusin tugas
kemaren…harusnya tadi ga usah tidur lagi…harusnya…harusnya…
***
Jendela kamar
saya terbilang besar, tepat berada di belakang kepala tempat tidur. Cahaya
matahari bisa sesukanya menerobos masuk ke ruangan kapan saja selama tidak ada
kerumunan awan yang menghalangi. Belum lagi langit-langit kamar yang diberi
jendela cahaya, yang juga berada tepat menghadap tempat tidur. Siang sedikit,
silaunya bukan main. Bukan lagi alarm yang membangunkan saya bila siang
menjelang. Matahari seolah memiliki tugas sampingan untuk membuat gerah si
malas untuk segera beranjak dari kasurnya yang mungkin juga mulai kepanasan.
“Bangun
kamu! Saya aja udah kerja dari subuh, kamu ngapain aja di sana, hah?” pekik
Matahari nun jauh di atas sana.
“Santai aja kali woy! Emang kerjaan kamu
mulainya dari jam segitu! Ngurusin amat anak orang!” si malas balik
menggerutu.
Ia kembali
membenamkan wajahnya pada bantal yang terasa tidak senyaman sebelumnya, sebab
ia teringat akan berbagai hal yang seharusnya sudah selesai dikerjakan saat
itu…
***
Saya menghubungi
seorang teman untuk berangkat ke suatu tempat di bilangan Dago Pakar pukul 5
pagi tepat. Sekitar pukul lima kurang, ia datang. Kami kemudian langsung meluncur di jalanan sepi, sebagian besar toko dan rumah masih tertidur nyenyak. Dua cangkir kopi instan tidak lupa kami beli di salah satu gerai 24 jam, untuk diseruput sambil duduk menunggu si Matahari yang sedang bersiap-siap muncul, dan kembali bekerja hingga petang. Haha, saya lebih dulu kali ini, tuan.
Sepanjang jalan, saya mengamati Matahari yang nampak masih malas menyapa semesta alam di antara kabut Bandung yang membuai. Sosoknya menggeliat dari balik gunung, berselimut awan. Apa kira-kira yang akan ia katakan ketika melihat si malas saat ini sudah memandanginya dari bukit, menyeruput kopi hangat sambil bersenandung?
"Hai. Apa aku membangunkanmu dari tidur?"
Saya menyapanya dengan terkekeh. Ia tidak mengacuhkan, seolah tidak pernah ada saya di sana. Beberapa saat kemudian, hangat mulai merayap ke sekujur tubuh saya, sementara sisa kopi tadi berangsur kehilangan nikmatnya, dingin. Sinarnya menerpa semak dan pepohonan yang jadi terlihat berkilauan karena sisa embun yang masih menempel. Juga menerpa rambut saya, yang jadi terlihat kemerahan karena kurang terawat. Huh.
Kami sejenak berbincang, bertiga. Matahari menantang kami untuk terus menjemputnya setiap hari, dari mana saja. Dari kamar, dari kampus, dari jalanan, atau dari tempat-tempat tinggi lainnya agar ia bisa sambil mengobrol ringan tentang apapun, sebelum mulai kembali bekerja. Tentang celoteh manusia yang kepanasan di siang hari, namun juga tidak rela jemurannya tidak kering bila Matahari memilih mengalah pada awan. Tentang para pencinta sajak yang kerap duduk dengan pandangan mengawang di sore hari, berusaha merumus senja jadi puisi. Tentang tempat persembunyiannya ketika Bulan sedang berjaga, tentang hujan tiba-tiba yang memunculkan Pelangi, dan banyak lagi...
Saya kemudian berusaha untuk selalu bangun lebih awal dari biasanya, agar tidak lagi dibangunkan Matahari. Tugasnya sudah banyak, lebih baik saya menjemputnya dari jendela kamar. Mengajaknya berbincang dengan secangkir kopi dan roti bakar.
Sepanjang jalan, saya mengamati Matahari yang nampak masih malas menyapa semesta alam di antara kabut Bandung yang membuai. Sosoknya menggeliat dari balik gunung, berselimut awan. Apa kira-kira yang akan ia katakan ketika melihat si malas saat ini sudah memandanginya dari bukit, menyeruput kopi hangat sambil bersenandung?
"Hai. Apa aku membangunkanmu dari tidur?"
Ssst..tidur saja lagi, nona. |
Bingo! Kamu masih sembunyi di balik gunung |
Nah, selamat pagi, tuan Matahari! |
Saya menyapanya dengan terkekeh. Ia tidak mengacuhkan, seolah tidak pernah ada saya di sana. Beberapa saat kemudian, hangat mulai merayap ke sekujur tubuh saya, sementara sisa kopi tadi berangsur kehilangan nikmatnya, dingin. Sinarnya menerpa semak dan pepohonan yang jadi terlihat berkilauan karena sisa embun yang masih menempel. Juga menerpa rambut saya, yang jadi terlihat kemerahan karena kurang terawat. Huh.
Kami sejenak berbincang, bertiga. Matahari menantang kami untuk terus menjemputnya setiap hari, dari mana saja. Dari kamar, dari kampus, dari jalanan, atau dari tempat-tempat tinggi lainnya agar ia bisa sambil mengobrol ringan tentang apapun, sebelum mulai kembali bekerja. Tentang celoteh manusia yang kepanasan di siang hari, namun juga tidak rela jemurannya tidak kering bila Matahari memilih mengalah pada awan. Tentang para pencinta sajak yang kerap duduk dengan pandangan mengawang di sore hari, berusaha merumus senja jadi puisi. Tentang tempat persembunyiannya ketika Bulan sedang berjaga, tentang hujan tiba-tiba yang memunculkan Pelangi, dan banyak lagi...
Saya kemudian berusaha untuk selalu bangun lebih awal dari biasanya, agar tidak lagi dibangunkan Matahari. Tugasnya sudah banyak, lebih baik saya menjemputnya dari jendela kamar. Mengajaknya berbincang dengan secangkir kopi dan roti bakar.
***
Hari-hari berlalu, dan apa yang orang bilang sebagai "Morning Person" ternyata cukup menggambarkan saya setelah perbincangan pertama dengan si Matahari. Membuka jendela, membiarkannya menerobos masuk, menghirup udara sebelum tercemar asap kendaraan, membuat sarapan, dan sejenak berpikir tentang apa saja yang akan saya kerjakan hari itu. Tugas-tugas pun jadi memiliki injury time untuk diselesaikan sebelum tenggat waktu yang ditetapkan. Kadang, saya menyempatkan diri untuk menyapa Matahari dari track lari. Namun, ia juga kerap merasa dicurangi ketika saya akhirnya terlelap pada dini hari dengan layar notebook yang menyala, dan kertas yang berserakan. Biasanya ia akan kembali membangunkan saya.
***
"Heh kamu! Bangun! Saya udah kerja dari tadi! Ngapain aja kamu di sana, hah?!"
Tidak kah kamu mendengarnya? Coba saja buka jendela, mungkin ia punya cerita...
matahari juga suka mager dan bermalas-malasan kali. dia ambil cuti. kalo dia cuti, dia digantiin sama mendung.
ReplyDeleteiya, kalo kamu menganggap langit cuma seluas jarak mata memandang. Di satu tempat mendung, masih banyak tempat lain yang cerah :)
ReplyDelete