Wednesday 26 December 2012

Pulang

Dengan sedikit keresahan, ia menoleh kanan kiri, dengan perlahan ia seruput kopi yang sedari tadi dibiarkan menggenangi cangkir keramik abu di hadapannya. Mungkin tidak seharusnya ia mendaratkan tujuan di tempat itu kali ini, dalam sudut meremang di antara ramai dan sepi, di mana ia dapat memesan kopi secangkir lagi, dan lagi, seorang diri.

Derai tawa si pemandu acara dalam 14 inch begitu pekaknya, seolah hendak merapatkan renggang di antara tetamu kedai. Ada yang menengadah sejenak lalu ikut tertawa atau sekedar tersenyum simpul, adapun yang lantas memutus suara dengan memasang earphone demi kualitas waktunya.

Dan ia masih di sana, di sudut yang perlahan turut meremangkan keberadaannya di antara sepasang-pasang, sekelompok demi kelompok orang. Jemarinya sibuk membolak-balik halaman majalah yang disediakan, di mana sesungguhnya pikirannya lebih tertuju pada tamu sekitar.

Ke manakah mereka hendak melangkah setelah ini? Pulang? Atau adakah kedai ini telah mewujud rumah bagi pria dengan kemeja biru di tengah sana, nona berhijab satin di depanku, wanita dengan riuh-rendah perbincangan hari senja di belakangku, atau tetamu lainnya? Pulang-kah mereka, ketika lawan bicara melancarkan kata-kata yang kemudian disambut tawa, ketika sapaan menjadi rangkaian tukar-cerita? Haruskah mereka meninggalkan kedai menuju rumahketika menginginkan pulang?

Sesungguhnya rumahku tidak jauh dari sini. Namun, rinduku untuk pulang tidak berhenti menghantui, bahkan ketika kaki telah menapakki lantai teras depan, menuju ruang-ruang penghidupan; ketika aku sudah berada di dalam rumah. Adakah rumahku sebagai tempat berpulang?

Sudah cangkir ketiga, ketika akhirnya lamunan membentur dinding kesadaran. Dipusatkannya pikiran agar segala persendian bersedia melaksanakan perintah untuk segera memanggil pelayan, meminta bon tagihan, membayar, angkat badan, lalu melangkah menuju rumah.
Seraya meninggalkan kedai, sayup derai tawa pembawa acara kini mulai terdengar satir.

Tidak lebih dari limabelas menit kemudian, sampailah ia pada bangunan satu lantai berwarna krem pudar dengan deretan pot gantung hidroponik yang membentengi pemandangan jalan raya terhadap jendela utama. Ia masuk, berjalan menuju ruang tidur, dan kemudian menghempaskan badannya ke atas single bed bersalut sprei corak kembang. Dihirupnya udara kamar yang familiar, matanya menelusuri setiap sisi dan celah ruangan yang sangat ia hapal seluk-beluknya.

Ragaku pulang, jiwaku melayang...
                                                                          ***
Malam telah menidurkan sebagian aktivitas kota. Di salah satu sudutnya, dalam sebuah kedai kopi yang masih mewadahi pertemuan demi perbincangan hingga dinihari, duduklah ia, yang merindu pulang pada rumah, pada salah satu bangku kayu dengan pendar cahaya tungsten lampu patri yang menggantung sendu. Jarinya mengetuk-ketuk meja, perasaaan cemas diselingi ragu mulai menyeruak pada tubuhnya yang menyebabkan rasa mulas tidak nyaman.

Akhirnya, balasan pesan singkat yang ditunggu datang juga. Sontak, tangannya meraih handphone dengan tidak sabar, dibacanya pesan yang baru sampai dengan nafas memburu. Senyum segera terkembang di wajah ovalnya yang mulai menampakkan kantung mata.

Selang beberapa menit, Peugot 406 silver telah meluncur di jalanan sepi, membawanya pergi.
Sudah cukup lama ia tidak menjumpai orang dalam kemudi yang duduk di sebelahnya kini. Sudah cukup lama tidak terjalin kata dan sapa terhadapnya. Sudah cukup lama ia berusaha lupa. Sudah cukup lama ia, dan sesungguhnya mereka, menahan rasa.
                                                                          ***
Ufuk timur mulai timbul semburat biru keunguan. Dua orang masih berkendara, saling bertukar cerita, betapa tiap-tiap mereka merasa hilang saat tidak ada “kita”. Dalam tawa yang mengisi rasa, ada hal yang ia rasa telah muncul ke permukaan, setelah liang itu terbiasa hampa rongganya, setelah setiap yang ditapaki mengambang, kini kembali menemukan pegangan.

Fajar mulai menyembul, dua orang masih berkendara. Menyusuri jalan tol antar kota, dari satu tempat ke tempat lainnya. Rona cerah terulas pada setiap mereka.

Senja kini melukis langit, dua orang masih berkendara. Menelusuri jalan, kini mereka berkendara dalam rumah. Menyusuri jalan entah ke mana, karena sesungguhnya, mereka telah pulang.
                                                
Karena rumah adalah tempat di mana hati berada, home is where the heart is.
                                                                 Khansa, 4-10-11, 4:48 am

No comments:

Post a Comment

Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...