Sunday 9 June 2013

Balada Hujan di Bulan Juni




Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskanya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

--Sapardi Djoko Damono

***


“Sudah berapa lama kamu suka sama dia?”

“Entahlah. Kau coba hitung saja sendiri”

“Hahaha, aku kasihan sama kamu sebenarnya, Hujan. Kenapa mesti dia, sih? Toh masih banyak yang ngantri nungguin kamu selain dia.”

“Sok tahu kamu, Awan! Namanya perasaan, siapa yang bisa tahu, sih?”

"Iya juga…tapi kenapa kamu pilih Juni, di antara November, Desember, Januari…kan mereka cantik-cantik. Desember punya banyak lampu kelap-kelip tiap tanggal 25, Januari juga. Di hari pertama aja, langit dia buat terang meletup-letup,”

“Yah…semua juga tahu itu. Kalau kamu maksa, ya paling aku cuma bisa jawab, Juni itu istimewa tapi sederhana. Nggak banyak ornamen, nggak ada pesta. Tanggal merah aja absen dari daftar hari miliknya. Tapi coba kamu lihat, semua orang menunggu Juni. Keluarga bepergian di bulan Juni, karena nggak perlu aku buat repot sampai basah. Anak-anak yang capek sekolah bisa ke pantai di bulan Juni, karena cuaca cerah dan terang. Orangtua bisa bersantai di teras sambil ngopi siang-siang.”

“Alah, aku tahu kamu cemburu sama Matahari”

“Enggak kok! Justru aku bangga melihatnya begitu. Juni selalu ditandai orang untuk bersenang-senang. Biarin dia begitu. Dia memang selalu ingin menyenangkan semua orang. Cocok sama Matahari. Dia hangat, ceria, nggak kayak aku. Aku rela Juni dipsangkan sama Matahari.”

“Hah, klise kamu! Emang sih banyak orang yang bilang, cinta nggak harus memiliki. Something better left unsaid, bla bla bla…tapi apa kamu tahan? Coba lihat sekarang, lihat orang-orang yang kamu bela! Orang-orang yang demi mereka, kamu rela nahan-nahan perasaan. Mereka juga nggak peduli sama kamu, sama kita. Mereka semena-mena make yang namanya teknologi. Yang penting hidup mereka jadi gampang. Tapi kita-kita juga jadinya yang capek ngurusin mereka. Lihat sekarang, tinggal berapa teman kita yang masih rela kerepotan nemenin Bumi? Sisanya udah nggak sanggup! Kamu masih mau ngalah demi orang-orang itu?”

(Hujan terdiam)

“Lagian, emangnya kamu yakin Juni nggak capek senyam-senyum kegerahan di depan orang-orang? Emangnya kamu tahu, perasaan Juni sebenarnya gimana?? Nggak ada yang pernah tahu kalo nggak ada yang mau mulai!”

(Hujan masih terdiam)

(Awan menarik nafas panjang)


*** 


“Bu, ayo Bu, Ayah kan janji kalo aku libur kita ke Dufan!”

“Iya, sayang…Ibu juga pengen kok main sama Rani sama Kak Lia”

“Yaudah Buuuuuu ayo pergiii! Ayah mana??”

“Ayah belum pulang, Ran..katanya masih di kantor nungguin hujan. Di jalan kan banjir, kasian kalo Ayah sampai mogok mobilnya. Rani nggak kasian emangnya, sama Ayah?”

“Ah Ibu juga nggak kasian sama Rani! Ngeseliin!!”


***

“Masih hujan aja nih udah musim libur begini…cabut ajalah,yuk? Santai , lah. Nggak bakal kenapa-kenapa kalo yakin mah”

“Yeuu muncak jangan disamain kayak ngapelin cewek, bego! Dikira itu tanah nggak bakal licin nggak bakal longsor apa, hujan angin gini? Kalo ampe ada bencana, emangnya ada yang mau tanggung jawab?”

“Iya..ngeri juga sih ya…diundur aja lah, ya? Kita kemana kek sekarang mah, yang deket-deket aja..”


***

"Padahal harusnya Juni itu musim panas, ya, Yah? Malah hujan terus…jemuran kan jadi susah kering. Baju Mama bau lembab melulu."

"Iya, emang begini keadaannya sekarang, Mah. Musim udah nggak karu-karuan. Tapi toh, enak kan Mah, tiap hari adem terus?”

“Ih!”
***


“Hujan, ya. Juni sekarang hujan. Menurutmu kenapa?”

“Hmm…kamu masih ingat puisi hujan yang bijak? Judulnya apa?”

“Ingat. Hujan Bulan Juni. Kamu yang kasih linknya ke aku waktu itu"

“Iya. Hujan nggak mungkin turun di musim panas, tapi buktinya sekarang dia berani”

“Terus?”

“Itu tandanya, hari ini ada sesuatu yang sudah terlampau lama menahan rasa. Ada yang sudah terlalu sabar menyimpan rahasia. Ada yang sudah lelah untuk mengalah. Pada akhirnya, ia akan pecah, membuncah, bikin semua jadi ikut-ikutan basah. Tapi, dia nggak salah. Karena kearifan sudah menjadi nama tengahnya untuk sekian lama.”

“Lalu, sekarang kita harus gimana?”

“Yah, nikmati saja.”

1 comment:

  1. tipografinya bener gak,tuh? gak boleh asal kutip kalau puisi ya ibu bumi

    ReplyDelete

Sederhana

Jadi gini ; Ini adalah tulisan pertama yang diunggah pada 2017. Dan, sekaligus juga ku berlakukan sebagai postingan penanda, bah...